Forwamki.id | Pengamat Energi dan Pertambangan Fahmy Radhi mengatakan, Indonesia selama ini dikenal sebagai salah satu negara di dunia yang menghasilkan batu bara terbesar. Meski sudah dieksploitasi ratusan tahun, cadangan batu bara Indonesia diperkirakan masih ada 38 miliar ton, lebih besar dari cadangan minyak dan gas bumi.
"Selama ini paradigma pengusahaan batu bara di Indonesia adalah 'keduk-jual' tanpa hilirisasi sama sekali. Tidak mengherankan kalau Indonesia termasuk pengekspor terbesar keempat secara global setelah China, India dan Amerika Serikat," kata Fahmy seperti dilansir detikcom, Sabtu (13/11/2021).
Baca Juga:
Pertamina Patra Niaga Regional JBB Awasi Takaran Isi Tabung LPG 3 kg
Dia menilai, fenomena 'keduk-jual' tersebut tidak bisa diteruskan dan harus diubah dengan hilirisasi. Alasannya, Batu bara merupakan energi yang menghasilkan emisi karbon (carbon emission) sangat besar sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan, yang membahayakan kesehatan umat manusia.
Selain itu, kata Fahmy, tren yang terjadi saat ini permintaan batu bara dunia mengalami penurunan drastis karena adanya perubahan penggunaan batu bara dengan energi bersih. Oleh sebab itu, ada kepentingan Indonesia untuk melakukan hilirisasi batu bara melalui gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME).
Agar lebih paham, dia menjelaskan, gasifikasi adalah proses untuk mengubah energi batu bara menjadi gas DME yang dapat digunakan untuk memasak dengan kompor gas. Produk DME juga dapat digunakan untuk substitusi liquefied petroleum gas (LPG).
Baca Juga:
Kementerian ESDM Temukan LPG Oplosan di Jabodetabek-Bali, Dijual Harga Murah
"Gasifikasi batu bara, selain menaikkan nilai tambah batu bara, juga akan memberikan berbagai benefit bagi negeri ini. Selama ini impor content LPG mencapai sekitar 83,6% sehingga menekan neraca perdagangan hingga Rp 5,5 triliun per tahun," ujarnya.
Dari gasifikasi batu bara ini, dia memprediksi dapat menekan impor LPG hingga 1 ton per tahun sedangkan penggunaan DME tidak ada impor contents. Agar DME ini tercapai, perlu berbagai dukungan dari berbagai pihak terutama pemerintah dan pengusaha batu bara.
"Pemerintah perlu memberikan berbagai insentif bagi perusahaan yang akan memproduksi DME. Bahkan di awal pengembangan DME, Pemerintah perlu juga mempertimbangkan pemberian subsidi harga agar harga jual DME terjangkau bagi seluruh kalangan konsumen," katanya.
Selain insentif dan subsidi, pemerintah juga perlu membuat aturan yang mengharuskan pengusaha batu bara menjual produknya dengan persentase tertentu kepada perusahaan yang memproduksi DME sebagai domestic market obligation (DMO).
Di sisi lain, pengusaha batu bara harus mengubah pardigma dalam pengusahaan batu bara dari 'keduk-jual' menjadi keduk-hilirisasi-jual. "Perubahan paradigma pengusaha Batu bara itu akan memberikan kontribusi tidak hanya dalam meningkatkan nilai tambah Batu bara, tetapi juga dalam mencapai ketahanan energi dan menghasilkan energi yang lebih ramah lingkungan di Indonesia," paparnya.
Senada dengan itu, Pengamat Migas dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro juga mengatakan, rencana tersebut bagus untuk diimplementasikan di Indonesia. Menurutnya, gasifikasi batu bara atau mengubah LPG ke DME dapat menekan praktek impor.
"Saya kira bagus jika dapat diimplementasikan. Pengembangan DME dapat berpotensi mengurangi impor LPG. Berkurangnya impor LPG, memperbaiki neraca perdagangan dan kondisi fiskal," kata dia.
Terkait nilai keekonomian saat ini sedang dilakukan studi dan uji coba produksi. Namun, di beberapa negara contohnya China, harga keekonomiannya di bawah harga LPG.
Sekedar informasi, berdasarkan bahan paparan Fahmy Radhi, proyek gasifikasi batu bara ini merupakan kerja sama antara PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Pertamina (Persero) dan Air Product USA, akan mendatangkan investasi asing yang masuk ke Indonesia sebesar US$ 2,1 miliar setara sekitar Rp 30 triliun.
Proyek itu juga akan membuka lapangan pekerjaan sekitar 10.570 orang pada tahap konstruksi dan 7.976 orang pada tahapan operasi. Manfaat langsung yang diperoleh Pemerintah Daerah diperkirakan hingga Rp 800 miliar per tahun. (JP)