BADAN LEGALISASI DPR RI Kementerian Hukum dan HAM dan DPD RI menyetujui 38 RUU untuk masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.
Salah satu yang menjadi prioritas pembahasan adalah Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan (Omnibus Law) Dalam Perubahan Ketiga 2020-2024 Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Kesehatan Nasional.
Baca Juga:
Demi Penguatan dan Kemandirian Konsumen, ALPERKLINAS Desak Pemerintah Segera Sempurnakan dan Sahkan Revisi UUPK
Terkait RUU Omnibuslaw Kesehatan yang sudah masuk prolegnas 2023 ini memunculkan pro kontra/polemik, bahkan ratusan massa dari tenaga kesehatan berunjuk rasa menolak RUU Omnibuslaw Kesehatan di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (28/11).
Dari sisi pasien sebagai konsumen atau masyarakat pengguna jasa kesehatan, muncul pertanyaan apakah ketentuan tentang perlindungan terhadap konsumen jasa kesehatan dalam RUU ini menguntungkan atau malah sebaliknya atau bahkan dihilangkan?
Setiap orang, mulai jabang bayi sampai manula, termasuk pelaku usaha adalah konsumen. Konsumen tidak mengenal usia, gender, profesi, jabatan, status sosial dll. Jadi, setiap konsumen adalah seluruh rakyat yang selalu akan berurusan dengan masalah kesehatan.
Baca Juga:
Stop Sementara Peredaran Shine Muscat, BPKN: Prioritaskan Keselamatan Konsumen
UU No. 8 Tahun 1999 ttg Perlindungan Konsumen menyebutkan, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Untuk itu RUU ini perlu ada sosialisasi dan meminta pendapat dari organisasi atau lembaga/badan yang kompeten, seperti Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI.
Dalam RUU ini perlindungan terhadap pasien sebagai konsumen jasa kesehatan, seharusnya dikuatkan dalam rangka amanat konstitusi untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat. Penguatan itu mencakup proses pembinaan, proses berkaitan dengan kompetensi, proses berkaitan dengan kepastian hukum terhadap penyelenggara kesehatan, terutama dalam hal tata kelola pelayanan dan semuanya itu berbasis kepada keamanan, kenyamanan dan keselamatan pasien/masyarakat sebagai pengguna jasa kesehatan.
Yang tidak kalah pentingnya bahwa jangan sampai ketentuan tentang perlindungan pasien yang sudah ada dalam peraturan perundang-undangan kesehatan dan perlindungan konsumen saat ini (yang sudah berjalan cukup baik), malah dikurangi/berkurang bahkan dihapuskan.
Dari pertimbangan di atas diharapkan RUU Omnibuslaw Kesehatan ini tidak menimbulkan kegaduhan seperti Omnibuslaw Cipta Kerja, namun sebaliknya dapat memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan khususnya bagi pasien sebagai konsumen pengguna jasa kesehatan, terlebih kesehatan masyarakat saat pandemi Covid-19 ini belum benar-benar aman.
Penulis adalah Dosen Politik Hukum dan Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Universitas Pasundan dan juga sebagai Ketua Umum Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) Jabar Banten DKI Jakarta.
Artikel ini telah tayang di RMOL JABAR, Selasa, (28/11/2022) dan d isadur Kembali Selasa (30/11/022).