"Kita juga bisa memakai opsi untuk menginterkoneksikan kepada sistem transmisi terdekat yang lebih besar sehingga masyarakat tetap bisa menikmati listrik yang andal," ujar Darmawan.
Darmawan juga menjelaskan proyek ini targetnya akan rampung pada 2026 mendatang. Harapannya, sekitar 2.130 titik PLTD yang ada saat ini bisa terkonversi ke pembangkit energi bersih ataupun koneksi ke grid.
Baca Juga:
Waspada Banjir, Ini Tips Amankan Listrik saat Air Masuk Rumah
Seiring dengan perkembangan teknologi, Darmawan meyakini biaya produksi pembangkit energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia bakal semakin kompetitif dibandingkan dengan pembangkit fosil.
Hal ini bisa dilihat dari terus turunnya harga PLTS dan baterai. Pada tahun 2015 harga PLTS dipatok USD 25 sen per kilowatthour (kWh). Namun saat ini, harga PLTS mampu ditekan berkisar USD 5,8 sen per kWh, bahkan dengan tren saat ini dapat turun dibawah USD 4 sen per kWh.
Sedangkan untuk baterai hari ini harganya mencapai USD 13 sen per kWh yang dulunya sempat di angka USD 50 sen per kWh. Artinya, ada penurunan biaya hampir 80 persen.
Baca Juga:
Era Energi Terbarukan, ALPERKLINAS: Transisi Energi Harus Didukung Semua Pihak
Harga rata-rata paket baterai tipe Li-ion pada tahun 2020 adalah 137 USD/kWh yang dulunya sempat di angka 668 USD/kWh pada tahun 2013. Artinya, ada penurunan biaya hampir 80 persen. ("Sumber: BloombergNEF")
"Perkembangan teknologi dan inovasi mampu menekan mengurangi harga dari pembangkit EBT. Ini menjawab dilema antara energi bersih tapi mahal atau energi kotor tapi murah. Ini bisa dijawab, bahwa dalam kurun waktu energi bersih dan murah bisa dicapai," tegas Darmawan. [JP]