KONSUMEN.WAHANANEWS.CO, Jakarta - Wakil Ketua MPR RI, Edhie Baskoro Yudhoyono, menekankan pentingnya revisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen agar lebih optimal, memadai, dan relevan. Revisi ini bertujuan untuk menghadapi tantangan global serta perkembangan teknologi yang semakin pesat, sehingga pertumbuhan ekonomi nasional dapat terus berkelanjutan dengan perlindungan konsumen yang lebih baik.
"Kami di sini tidak hanya bertugas mengawasi kegiatan pemerintahan, tetapi juga bersama pemerintah membuat undang-undang, termasuk rancangan undang-undang perlindungan konsumen yang sedang kita diskusikan hari ini," ujar pria yang akrab disapa Ibas ini dalam keterangan tertulis Rabu (19/3/2025).
Baca Juga:
Ketua BPKN Optimis RUU Perlindungan Konsumen Akan Segera Disahkan
Hal tersebut ia sampaikan dalam Seminar Nasional Fraksi Partai Demokrat DPR RI dengan topik Revisi UU Perlindungan Konsumen "Ekonomi Tumbuh, Usaha Maju, Konsumen Terlindungi", di Gedung DPR/MPR RI, Selasa (18/3/2025).
Ibas mengatakan Indonesia sebagai negara dengan populasi terbesar di Asia Tenggara memiliki potensi pasar yang sangat besar.
"Kita tahu Indonesia ini negara yang sangat besar, jumlah penduduknya 280 juta, tersebar dari Sabang hingga Merauke. Potensi ekonomi kita juga sangat besar, dan kita masih punya ruang untuk terus tumbuh," kata Ibas.
Baca Juga:
BPKN RI Didukung OJK DIY Sosialisasikan Hak-Hak Konsumen
Namun, kata dia, pertumbuhan ekonomi ini harus diimbangi dengan perlindungan konsumen yang optimal, terutama di tengah tantangan global dan perkembangan teknologi yang pesat.
Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI menjelaskan bahwa perkembangan teknologi, seperti artificial intelligence (AI), e-commerce, fintech, dan digital asset, telah mengubah landscape perdagangan.
"Teknologi memudahkan kita dalam berinteraksi dan bertransaksi, tetapi di sisi lain, ia juga membawa risiko jika disalahgunakan," ucap Ibas.
Lebih lanjut, Ibas juga menyoroti tingginya jumlah pengaduan konsumen dari waktu ke waktu.
"Setiap tahun, ada sekitar 1.000 hingga 3.000 aduan, dengan kerugian mencapai ratusan miliar hingga triliun rupiah," kata Ibas.
Ibas menambahkan, sektor-sektor yang paling sering dikeluhkan antara lain jasa keuangan, fintech, e-commerce, barang elektronik, obat-obatan, dan makanan minuman.
"Masih ada kasus-kasus seperti skincare ilegal, pinjol ilegal, dan penjualan makanan minuman, obat obatan yang tidak berkualitas," tambahnya.
Untuk menghadapi tantangan ini, Ibas mengajak semua pihak untuk bersinergi menyusun aturan baru dengan mengedepankan asas keadilan.
"Kita perlu melakukan terobosan agar kebijakan ekonomi dan perdagangan tetap berkeadilan, sambil memberikan perlindungan yang optimal bagi konsumen," ajak Ibas.
Ia juga menekankan bahwa UU Perlindungan Konsumen yang berlaku saat ini sudah tidak relevan.
"UU ini dibuat hampir 2 dekade lalu, sejak tahun 1999. Saat itu, perkembangan teknologi dan digitalisasi belum terbayangkan. Karena itu, revisi UU ini menjadi sangat krusial," tutur Ibas.
Ia menyarankan beberapa langkah konkret untuk memperkuat perlindungan konsumen, seperti penyesuaian regulasi, pengawasan yang lebih ketat, dan pemberian sanksi yang tegas.
"Kita juga perlu memperkuat hak-hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha, termasuk transparansi informasi produk, jaminan mutu, dan kompensasi jika ada ketidaksesuaian," pungkasnya.
Di akhir pidatonya, Ibas berharap seminar ini dapat memberikan solusi konkret bagi para pemangku kebijakan, pemerintah, swasta, dan stakeholders lainnya.
"Mari kita satukan langkah kita, pikirkan yang terbaik, dan berikan inspirasi untuk menghadapi tantangan global dengan perlindungan konsumen yang memadai," ujar Ibas.
Senada dengan Ibas, Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan RI Moga Simatupang menyampaikan UU Perlindungan Konsumen sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.
Isu perlindungan konsumen semakin kompleks, UUPK sudah 25 tahun berlaku tapi masih belum memberikan pemahaman yang jelas, dan sudah tidak sesuai perkembangan zaman," ucap Moga.
Sementara itu Putri Indonesia Pendidikan dan Kebudayaan 2024 Melati Tedja juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, dibutuhkan payung hukum yang terbaru untuk mengikuti perkembangan zaman digital saat ini.
"Saat ini kita berada di zaman serba klik, semua tinggal klik, beli barang tinggal klik, semua transaksi digital, sehingga saya mewakili anak muda, mendukung Revisi UU Perlindungan Konsumen untuk dipercepat dengan tepat. Mungkin membutuhkan waktu lebih lama, karena Pemerintah ingin memberikan yang terbaik untuk rakyat. UU saat ini itu sudah seusia saya, 25 tahun, oleh karena itu, kita membutuhkan payung hukum yang lebih 'updating', bagaimana jika terjadi penipuan dalam transaksi digital. Dan ini tidak hanya menjadi tugas pemerintah, tapi kita semua kolaborasi sehingga hak-hak konsumen terjamin," ujar Melati.
Sebagai informasi, dalam acara ini hadir beberapa narasumber, di antaranya Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan RI Moga Simatupang, Assistant Professor Fakultas Hukum Universitas Indonesia Henny Marlyna, Komisioner Badan Perlindungan Konsumen (BPKN) Akmal Budi Yulianto, Putri Indonesia Pendidikan dan Kebudayaan 2024 Melati Tedja, dan CEO Center of Indonesian Policy Studies (CIPS) Anton Rizki Sulaiman.
[Redaktur: Amanda Zubehor]