Konsumen.WahanaNews.co | Kebijakan cukai hasil tembakau yang efektif akan mendorong optimalisasi pengendalian konsumsi tembakau dan penerimaan negara.
Namun, kebijakan cukai rokok di Indonesia masih berpotensi membuka peluang untuk penghindaran pajak, khususnya lewat struktur tarif cukai hasil tembakau.
Baca Juga:
YLKI: Konsumen Lebih Aman dengan Kebijakan Kemasan Polos pada Rokok
Hal itu disampaikan Sekjen Transparency International Indonesia Danang Widoyoko.
“Awalnya dengan kenaikan cukai itu, kita berharap ada tambahan penerimaan negara sekaligus pengendalian konsumsi. Namun ada juga ternyata konsekuensi lain, yakni praktik penghindaran pajak,” ujar Danang Widoyoko dalam Webinar Mendorong Optimalisasi Penerimaan Negara dari Cukai Hasil Tembakau.
Hal ini dapat terjadi karena struktur tarif cukai hasil tembakau dan batasan produksi, utamanya pada segmen rokok mesin, memiliki kelemahan, baik dari sisi produsen maupun konsumen.
Baca Juga:
Malang Nasib Istri Korban KDRT di Tangerang, Disundut hingga Ditusuk lalu Diusir
“Ketika cukai naik, konsumen bisa bergeser ke produk yang lebih murah karena selalu ada alternatif. Cukai berkurang efektivitasnya karena harga rokok masih bisa dijangkau akibat struktur cukainya,” kata Danang.
Terkait dengan struktur tarif cukai, sebetulnya Kemenkeu sudah pernah merumuskan kebijakan penyederhanaan pada 2017, namun beleid itu dibatalkan dan kebijakannya saat ini baru terlaksanan sebagian.
“Tahun lalu dalam perjalanannya, struktur yang baru lebih sederhana dari 10 menjadi 8 lapisan. Jauh dari target semula, tapi ada kemajuan karena lebih sederhana,” ujar Danang.
Celah kebijakan cukai saat ini tidak hanya di jumlah lapisannya saja, tapi ketentuan masing-masing lapisan.
Menurutnya, batasan produksi pada SKM dan SPM, serta jarak tarif cukai yang signifikan di antara kedua golongan yang ada saat ini, telah memicu perusahaan besar untuk turun golongan.
“Jangan-jangan nanti golongan 1 kabur semua ke golongan 2. Kalau praktik penghindaran pajak ini tidak diantisipasi sekarang, penerimaan jadi sangat tidak optimal karena pabrikan ramai–ramai pakai cukai golongan 2 yang jauh lebih murah,” katanya.
Jika perusahaan besar tidak membayar cukai sesuai golongannya, penerimaan negara yang diterima tidak akan maksimal.
“Dengan diangkat ke 3 miliar batang, ini membuat sebagian besar perusahaan besar bisa pindah ke golongan 2. Jadi tidak cukup hanya simplifikasi mengurangi jumlah layer saja. Ketentuan tiap layer juga perlu diawasi karena potensi praktik penghindaran pajak bisa berasal dari sini,” katanya.
Optimalisasi penerimaan negara inilah yang menjadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), khususnya Tim Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi (Stranas PK).
Tim ini memasukkan isu optimalisasi penerimaan negara dari cukai sebagai Sub Aksi Pencegahan Korupsi dalam Stranas Tahun 2021-2022. [tum]