WALINKI ID | Pasokan diesel dunia berkurang karena penyulingan yang masih tertekan. Hal ini memperburuk kekurangan pasokan energi dunia setelah apa yang terjadi pada gas, batu bara, dan minyak mentah.
Menyadur dari CNBC Indonesia, Jumat (11/2/2022) kekurangan solar akan mendorong biaya bahan bakar dan transportasi lebih tinggi dan membuat kekhawatiran inflasi makin panas.
Baca Juga:
OPEC+ Sepakat Pangkas Biaya Produksi, Harga Minyak Dunia Naik Lagi?
Persediaan minyak bumi yang meliputi solar dan heating oil yang disimpan di gudang penyimpanan dan penyulingan independen Europe's Amsterdam-Rotterdam-Antwerp (ARA) jatuh 2,5% pada minggu lalu, melansir Reuters pada Kamis (10/2/2022).
Sementara itu, persediaan regional berada di level terendah sejak tahun 2008. Sedangkan persediaan distilasi menengah Singapura turun menjadi 8,21 juta barel.
"Permintaan diesel tampaknya membaik di (Eropa barat laut) tetapi kapasitas penyulingan yang lebih rendah dibandingkan dengan pra-Covid dan tingkat impor yang rendah membuat pasar di bawah tekanan berat," kata Lars van Wageningen dari Insights Global.
Baca Juga:
Jokowi Pikir-pikir Beli Minyak Rusia, Lebih Banyak Untung atau Ruginya?
Harga kargo diesel Eropa Barat Laut mencapai US$ 114 per barel pada hari Senin, tertinggi sejak September 2014.
Analis Morgan Stanley mencatat bahwa harga solar mencapai sekitar US$ 180 per barel pada 2008, didorong oleh pasar distilat menengah yang "sangat ketat" karena minyak mentah Brent naik mendekati US$ 150 per barel.
"Pengulangan (laju harga solar) itu bukan dasar kami, tetapi perlu dicatat bahwa harga solar telah mengikuti (tren) periode 2007-2008 dengan cermat dalam beberapa bulan terakhir," kata mereka.
Pasokan yang ketat telah mendorong harga solar Asia untuk benchmark 10 ppm gasoil ke level tertinggi sejak September 2014.
Untuk menghentikan lonjakan harga diesel dan bahan bakar lainnya, produksi harus ditingkatkan. Masalahnya, meningkatkan kapasitas penyulingan untuk menghasilkan solar tidaklah mudah. Produksi bahan bakar fosil saat ini melawan gerakan transisi energi. Hal ini juga berdampak pada dana investor yang mengalir untuk produksi semakin turun.
"Mengingat tekanan dari investor untuk mengurangi investasi dalam bahan bakar fosil, latar belakang ini kemungkinan mengurangi insentif untuk berinvestasi dalam kapasitas penyulingan baru," kata Giovanni Staunovo, analis UBS.
Giovanni menilai harga bahan bakar fosil ke depan akan sangat volatil. Sebab, permintaan bahan bakar kemungkinan akan meningkat dalam 10 hingga 15 tahun ke depan, namun di sisi lain pasokan tidak bisa mengimbangi.
Tingginya harga diesel global akibat pasokan yang mulai langka bisa menekan cadangan devisa Indonesia. Ini karena Indonesia masih kecanduan impor bahan bakar minyak, meskipun spesifik impor diesel relatif menurun sejak beberapa tahun terakhir ini. Selain itu, harga diesel pun bisa saja naik mengikuti harga dunia dan berdampak pada harga logistik darat dan transportasi yang meningkat.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) neraca dagang hasil minyak Indonesia sepanjang tahun 2021 tercatat defisit US$ 12.89 miliar. Nilai impor hasil minyak sebesar US$ 14,39 miliar, sementara ekspor tercatat US$ 1,99 miliar.
Untuk impor bahan bakar diesel berupa High Speed Diesel (HSD) pada 2021 tercatat US$ 2,12 miliar, melonjak 36% dari US$ 1,56 miliar pada 2020. Dari sisi volume, impor diesel pada 2021 tercatat 3,76 juta ton, turun 11% dibandingkan 2020.
Nilai impor diesel yang melonjak di tengah volume impor yang turun menjadi indikasi harga diesel dunia yang melonjak. [tum]