WALINKI ID | Kaburnya para investor asing dari RI meninggalkan lubang besar pada transaksi finansial.
Defisit yang terjadi pada Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal I-2022 terjadi karena investor asing banyak yang memilih kabur dari Indonesia.
Baca Juga:
Kemelut Investree: OJK Terima 561 Aduan Konsumen Pasca Pencabutan Izin
Bank Indonesia, Jumat (20/5/2022), mengumumkan NPI mengalami defisit US$ 1,8 miliar pada Januari-Maret 2022. Padahal, transaksi berjalan pada kuartal I tahun 2022 membukukan surplus sebesar US$ 221 juta, atau 0,07% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Surplus tersebut lebih rendah dibandingkan US$ 1,49 miliar atau 0,47% dari PDB.
Surplus pada transaksi berjalan didorong oleh tingginya ekspor Indonesia. Ekspor pada kuartal I tahun ini mencapai US$ 66,77 miliar sementara impor menembus US$ 55,63 miliar sehingga terjadi surplus sebesar US$ 11,14 miliar. Surplus tersebut memang lebih kecil dibandingkan kuartal IV tahun 2021 (US$ 12,43 miliar) tetapi jauh lebih tinggi dibandingkan kuartal I tahun 2021 (US$ 7,63 miliar).
Besarnya ekspor barang mampu menutupi defisit pada neraca jasa. Neraca jasa mencatatkan defisit sebesar US$ 4,41 miliar, lebih besar dibandingkan pada kuartal IV tahun 2021 (US$ 3,98 miliar).
Baca Juga:
Investor Siap Masuk, Anindya Bakrie: Target Investasi Rp 1.900 Triliun di Depan Mata
Secara historis, Indonesia memang kerap membukukan defisit pada neraca jasa. Defisit pada neraca tersebut kerap kali mengalahkan besarnya surplus neraca ekspor dan impor barang sehingga membuat transaksi berjalan membukukan defisit.
"Defisit neraca jasa meningkat sejalan dengan perbaikan aktivitas ekonomi yang terus berlanjut dan kenaikan jumlah kunjungan wisatawan nasional ke luar negeri pasca pelonggaran kebijakan pembatasan perjalanan antarnegara dan penyelenggaraan ibadah umrah yang kembali dibuka. Di sisi lain, defisit neraca pendapatan primer membaik sehingga menopang berlanjutnya surplus transaksi berjalan," papar BI dalam laporannya.
Sepanjang kuartal IV-2011 hingga kuartal II-2020, transaksi berjalan Indonesia mencatatkan defisit. Padahal, pada periode tersebut masih ada booming commodity yang melambungkan ekspor. Kondisi transaksi berjalan mulai berubah pada 2020. Pada kuartal III-2020, transaksi berjalan mencatatkan surplus karena anjloknya impor seiring pelemahan ekonomi Indonesia.
Pada masa-masa transaksi berjalan mencatatkan defisit, transaksi finansial kerap membukukan surplus dalam jumlah besar sehingga NPI pun menjadi surplus.
Pada kuartal I-2020, misalnya, transaksi berjalan membukukan defisit US$ 3,37 miliar atau 0,39% dari PDB. Sementara itu, transaksi finansial mencatatkan surplus US$ 5,76 miliar. Secara keseluruhan, NPI membukukan surplus sebesar US$ 4,07 miliar.
Asing Ramai-Ramai Jual Surat Utang
Pada kuartal I tahun ini, transaksi finansial yang terdiri dari investasi langsung dan portofolio tercatat defisit sebesar US$ 1,7 miliar, lebih kecil dibandingkan kuartal IV-2022 sebesar US$ 2,25 miliar.
Investasi langsung masih mencatat surplus US$ 4,47 miliar, lebih tinggi dibandingkan US$ 3,79 miliar yang tercatat pada kuartal IV-2021. Namun, kinerja investasi portofolio di pasar keuangan pada kuartal I-2022 jeblok dan mencatat defisit US$ 2,9 miliar.
Ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina dan rencana percepatan normalisasi kebijakan moneter di negara maju menyebabkan aliran keluar investasi portofolio.Selain itu, transaksi investasi lainnya mencatat defisit yang lebih besar dari kuartal sebelumnya antara lain disebabkan oleh peningkatan piutang dagang dan penempatan ke aset valas sejalan dengan masih tingginya aktivitas ekspor.
Bank Indonesia mencatat defisit pada investasi portofolio disebabkan maraknya net outflow di sisi kewajiban sebesar US$ 1,9 miliar.
"Penduduk Indonesia tercatat melakukan pembelian neto surat berharga di luar negeri (net outflow) sebesar US$ 1 miliar, lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar US$ 0,5 miliar," tulis Bank Indonesia dalam laporannya.
Investor asing juga menjual Surat Utang Negara (SUN) sebesar US$ 2,9 miliar di kuartal I-2022. Banyaknya aksi jual oleh investor asing tercermin dari kepemilikan investor asing pada SUN. Posisi kepemilikan asing pada SUN turun menjadi US$ 58 miliar di kuartal I-2022 sementara pada kuartal IV-2021 tercatat US$ 61,2 miliar. Secara prosentase, kepemilikan asing turun menjadi 20,9% di kuartal I-2022 dari 22,9% di kuartal IV-2021.
Sama seperti SUN, asing juga ramai-ramai melepas Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Total dana asing kabur pada instrumen tersebut mencapai US$ 0,8 miliar baik berdenominasi rupiah atau valas.
Namun, aksi jual oleh investor asing tidak terjadi pada surat utang milik perusahan swasta. Pada sektor swasta, masih terjadi net inflow sebesar US$ 0,5 miliar.
Pasar saham juga masih tercatat net inflow dari investor asing sebesar US$ 2 miliar pada kuartal I-2022, lebih tinggi dibandingkan kuartal IV-2021.
"Defisit portofolio pada triwulan I-2022 disumbang oleh sektor publik yang mencatatkan arus keluar neto sebesar US$ 3,5 miliar. Sementara, investasi portofolio sektor swasta mencatat surplus," tulis Bank Indonesia.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan surplus pada transaksi berjalan masih akan berlanjut. Namun, angkanya akan mengecil sejalan dengan tingginya permintaan dalam negeri dan impor.
"Kabar baiknya, pemerintah akan membuka ekspor CPO (crude palm pil) dan turunannya kembali," tutur Andry dalam Macro Brief.
Diperbolehkannya ekspor CPO dan produk turunannya akan meningkatkan ekspor mengingat komoditas tersebut menyumbang sekitar 14-15% total ekspor Indonesia.
Bank Mandiri memperkirakan transaksi berjalan pada tahun ini akan membukukan surplus 0,28% dari PDB. Proyeksi ini lebih tinggi dibandingkan surplus 0,03% dari PDB yang diperkirakan sebelumnya.
Namun, transaksi financial masih harus menghadapi downside risks yang akan menghalangi inflow. Risiko datang dari lonjakan inflasi, gangguan pasokan hingga kebijakan moneter hawkish di negara-negara maju.
"Kabar baik mungkin datang dari investasi langsung yang tetap kuat terutama untuk sektor pertambangan dan perkebunan," tutur Andry. [tum]