Walinki.id | Direktur Pelayanan Konsumen Departemen Perlindungan Konsumen (OJK), Sabar Wahyono mengingatkan konsumen atas konsekuensi jika menghindar dari kewajiban membayar utang pada perusahaan pinjaman online legal.
Sabar Wahyono mengatakan, ke depannya konsumen tidak akan mendapatkan dana dari perusahaan pinjaman online legal mana pun.
Baca Juga:
Netanyahu Resmi Jadi Buronan Setelah ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan
"Konsumen punya pinjaman tidak mau melunasi, dampaknya itu pencatatan namanya pada SLIK," ujar Sabar di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Senin (21/11).
Sabar menuturkan, jika skor SLIK konsumen 5 atau 4, maka kategori tersebut masuk sebagai kategori kredit macet. Sebagai informasi, terdapat 5 skor pada SLIK atau sebelumnya dikenal dengan BI Checking;
Skor 1, artinya kredit lancar. Debitur selalu memenuhi kewajiban untuk membayar cicilan setiap bulan beserta bunganya hingga lunas tanpa pernah menunggak.
Baca Juga:
Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan, Kasus Masih dalam Penyelidikan
Skor 2, artinya kredit DPK atau kredit dalam perhatian khusus. Debitur tercatat menunggak cicilan kredit 1-90 hari.
Skor 3, artinya kredit tidak lancar. Debitur tercatat menunggak cicilan kredit 91-120 hari.
Skor 4, artinya kredit diragukan. Debitur tercatat menunggak cicilan kredit 121-180 hari.
Skor 5, artinya macet. Debitur tercatat menunggak cicilan kredit lebih 180 hari.
Pengingat yang disampaikan Sabar tersebut berawal dari ratusan mahasiswa IPB terjerat utang melalui pinjaman online, dengan total miliaran rupiah.
Ratusan mahasiswa berutang untuk berinvestasi yang kemudian dikonfirmasi sebagai investasi bodong.
Sabar menuturkan, para mahasiswa yang mengalami kasus penipuan akibat investasi bodong tidak dapat dibebaskan dari kewajiban melunasi utangnya.
"Secara hukum, bagi debitur adalah pengembalian pinjamannya kepada kreditur adalah wajib," ujarnya.
Dia pun mengingatkan kembali kepada masyarakat agar tidak berinvestasi dengan cara mengajukan utang. Sebab, dalam proses pengajuan utang aset milik debitur menjadi jaminan untuk kreditur memberikan dana.
"Harta dari debitur dari yang bergerak atau tidak bergerak yang ada saat ini maupun ada yang di kemudian hari menjadi jaminan bagi pinjamannya (kreditur)," pungkasnya.
Sebelumnya, Rektor IPB University, Arif Satria memastikan 116 mahasiswanya menjadi korban penipuan pinjaman online dari sekitar 300 orang dari berbagai perguruan tinggi. Pihaknya pun telah memanggil para korban.
Menurut Arif, dari hasil pertemuan itu, diketahui tidak ada transaksi bersifat individual dari para mahasiswa IPB University. Pihaknya pun berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menyelesaikan masalah ini.
"Artinya, ini bukan kasus berupa mahasiswa IPB University yang membeli barang, kemudian tidak bisa bayar. Namun ini kasus yang diduga ada unsur penipuan dengan modus baru yang dilakukan oleh satu oknum yang sama, yang sudah kita identifikasi dan dilaporkan ke polisi," jelas Arif, Rabu (16/11).
Terjeratnya para mahasiswa berawal dari tawaran keuntungan 10 persen oleh pelaku dengan melakukan suatu proyek bersama. Mahasiswa IPB University diminta untuk mengajukan pinjaman online ke suatu aplikasi penyedia pinjaman.
Lalu pelaku meminta dana tersebut digunakan untuk melakukan transaksi di toko online milik pelaku. Dari setiap nominal transaksi itu, mahasiswa dijanjikan mendapatkan komisi 10 persen dan cicilan dibayarkan pelaku. Namun, hingga saat ini, pelaku tidak pernah memenuhinya.(jef)