WALINKI.ID | Parlemen Israel memutuskan untuk membubarkan pemerintahan. Ini terjadi tatkala koalisi yang digagas Perdana Menteri (PM) Naftali Bennett mulai rapuh.
Nantinya, akan ada pemilihan umum (pemilu) yang kembali dilakukan untuk memilih pemerintahan baru.
Baca Juga:
Petinggi Negara Terburon di ICC: Daftar yang Mengejutkan dan Kontroversial
Selama keputusan pembubaran hingga pemilu akan datang, posisi PM milik Bennett akan digantikan oleh mitranya yang saat ini menjabat Menteri Luar Negeri (Menlu), Yair Lapid.
"Bersama-sama, kami mengeluarkan Israel dari lubang. Banyak hal yang kami capai di tahun ini. Pertama dan terpenting, kami membawa ke tengah panggung nilai-nilai keadilan dan kepercayaan," kata Bennett seperti dikutip Al Jazeera, Selasa (21/6/2022).
Lapid dan Bennett pada Juni 2021 membentuk koalisi setelah dua tahun kebuntuan politik. Koalisi ini juga akhirnya berhasil menumbangkan rezim Benjamin Netanyahu.
Baca Juga:
Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong Resmi Mundur, Transisi Kekuasaan Dimulai
Walau begitu, koalisi yang digagas oleh Bennett ini sendiri sebenarnya mulai rapuh sejak awal. Pasalnya, koalisi ini diisi oleh partai politik dengan spektrum pemikiran yang berbeda yakni sayap kanan, liberal, dan Arab.
Salah satu isu yang cukup santer memecah koalisi ini adalah terkait Palestina dan pendudukan wilayah Tepi Barat. Partai koalisi terutama partai dengan latar belakang Arab menentang hal ini.
Namun dibalik kerapuhannya, koalisi tersebut membuat serangkaian pencapaian di antaranya terkait dengan meloloskan anggaran nasional pertama serta menavigasi beberapa wabah Covid-19 tanpa melakukan penguncian.
Sementara itu, dengan diadakannya pemilu kembali, Netanyahu pun mulai percaya diri dapat merebut kursi PM. Pasalnya, beberapa survei menyebut partainya, Likud, akan menjadi partai terbesar di negara itu.
"Saya pikir angin telah berubah. Saya merasakannya," kata Netanyahu. [jat]