WALINKI ID | Nasib Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) merupakan bagian dari Proyek Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) saat ini masih belum menentu.
Meski demikian dikatakan bahwa operasional Kereta Cepat Jakarta-Bandung baru dapat dilaksanakan pada Juni 2023.
Baca Juga:
Pasar Inpres Senen Blok VI Segera Dibangun
Dikatakan bahwa bila proyek ini sudah jadi, masyarakat dapat menggunakan layanan ini dengan tarif sekitar Rp 150 ribu hingga Rp 350 ribu per orang. Hal ini disampaikan langsung oleh pihak PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) berdasarkan hasil feasibility study tarif Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Direktur Utama KCIC Dwiyana Slamet menjelaskan tarif tersebut akan terbagi dalam tiga kelas yakni VIP, first clas dan second class.
"Kapasitas 1 train set ada 601 seat, terdiri dari 3 kelas, VIP, first class, dan second class. Tarif berkisar Rp 150-350 ribu sesuai hasil study demand forecast POLAR UI," terangnya dalam RDP dengan Komisi V, Senin (7/2/2022) lalu, melansir dari detikcom.
Baca Juga:
Proyek Saluran Pulomas Utara Disorot, Abdul Rauf Gaffar Terancam Dilaporkan ke APH
Hasil review feasibility study yang dilakukan saat ini juga potensi break even point (BEP) mencapai 40 tahun. Menurutnya perhitungan itu masih terus dilakukan dan diharapkan bisa lebih cepat.
"Saat ini perhitungan review FS masih belum final, kemarin sempat di angka 40 tahun. Namun masih kita coba evaluasi agar kira-kira apakah ada lagi potensi-potensi revenue stream lagi atau strategi bisnis yang lain yang bisa membuat BEP bisa lebih kecil dari 40 tahun," terangnya.
Meski masa balik modal baru dapat terpenuhi untuk waktu yang lama, ternyata China tetap akan diuntungkan dari proyek tersebut. Kok bisa? Berikut alasannya:
1. Keuntungan dari bunga utang
Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapatkan utang dari China berdasarkan laporan AidData. Ada berbagai skema yang digunakan untuk aliran utang ini.
Dalam laporan berjudul 'Banking on the Belt and Road: Insight from a new global dataset of 13,427 Chinese Development Projects' dana-dana yang disalurkan China itu bertujuan untuk pembangunan jalur sutera melalui Belt and Road Intiative (BRI) yang selama ini dilakukan di banyak negara.
Nah di Indonesia sendiri dana tersebut digunakan salah satunya untuk proyek infrastruktur. Yaitu Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang awalnya akan dibiayai oleh JICA. Saat itu JICA memasukkan proyek ini ke dalam rencana bantuan pembangunan luar negeri untuk Indonesia.
Saat itu sekitar 75% dari total biaya proyek akan dilakukan melalui skema pinjaman dengan bunga 0,1%. Tapi China saat itu juga berupaya untuk memenangkan kontrak tersebut. Hingga akhirnya China menawarkan keunggulan dari Jepang dari dimensi pembangunan, kecepatan, hingga pembiayaan.
Pada awal 2015, Indonesia mengundang China untuk memasukkan proposal alternatif dan China mengusulkan biaya yang lebih rendah dan pembiayaan dijamin oleh China Development Bank (CDB) dengan bunga 2% dan waktu pembangunan lebih cepat.
Periode September 2015 Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk membatalkan proyek ini dengan menolak tawaran China dan Jepang. Saat itu pembatalan karena proyek ini disebut bisa membuat utang pemerintah membengkak.
Jepang langsung merespons dengan menawarkan pengurangan 50% yang harus dijamin oleh negara. Kemudian China menghapus seluruh syarat jaminan negara dan mengusulkan transaksi neraca di luar pemerintah.
Di sini China Development Bank akan meneruskan pinjaman ke sebuah perusahaan yang dibentuk atas patungan China dan Indonesia. Pada 2017 CDB meneken perjanjian pinjaman senilai US$ 3,96 miliar dengan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang 60% saham dimiliki oleh Indonesia dan 40% China untuk mengerjakan proyek kereta cepat ini.
Pinjaman ini disalurkan dalam dua tahap yaitu US$ 2,38 miliar dan dalam renminbi senilai US$ 1,58 miliar. Dengan jatuh tempo 40 tahun dan masa tenggang 10 tahun. Lalu tingkat bunga 2% untuk dolar AS dan 3,46% untuk renminbi.
Dengan kata lain, meski baru bisa balik modal dalam kurun waktu sekitar 40 tahun, pemerintah China masih mendapatkan sejumlah keuntungan finansial dari bunga utang sebesar 2% dari total pinjaman senilai US$ 3,96 miliar dengan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
2. Adanya penggunaan produk dan tenaga kerja dari China
Keuntungan lain yang didapatkan oleh China tentulah serapan tenaga kerja maupun produk impor asal China. Proyek ini diketahui melibatkan cukup banyak TKA China.
Penggunaan banyaknya TKA China di proyek ini bahkan sempat menuai polemik. Sebut saja seperti pengguna tukang las rel yang harus didatangkan dari sana.
Dikatakan bahwa penggunaan jasa tukang las dari luar ini diperlukan karena dalam proses pengerjaan rel kereta menggunakan teknologi yang belum bisa dilakukan oleh tenaga kerja lokal.
Sebelumnya PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) melalui akun Twitter-nya, Jumat (11/02/2022), menjelaskan mengenai keahlian yang harus dimiliki tukang las proyek KCJB. Dikatakan bahwa untuk melengkapi rangkaian Electric Multiple Unit (EMU) terbaru dengan spesifikasi terbaik, rel 60 yang berstandar tinggi, tidak lengkap jika treatment terhadap rel tidak menggunakan standar terbaik.
"Untuk itu, pengelasan rel KCJB dilakukan dengan metode Flash-butt welding dengan mesin UN-200 dari Tiongkok, Sobat," jelasnya, dalam @KeretaCepatID.
Proses pengelasan rel KCJB dengan UN-200 ini berlangsung di fasilitas Welding Factory yang berada di Depo Tegalluar Track Laying Base KCJB. Dengan melakukan pengelasan di factory welding, mutu sambungan rel dapat lebih terkontrol.
"Jadi, cara kerja dari Flash-butt welding adalah dengan memanaskan kedua batang rel yang akan disambung dengan mesin UN-200. Setelah mencapai suhu yang dibutuhkan, kedua ujung barang rel tersebut disambung dengan tekanan tertentu hingga benar-benar menyatu dengan sempurna." ujarnya.
Dengan kecanggihannya, mesin UN-200 mampu memberikan kualitas sambungan yang konsisten pada setiap rel. Karena itulah, diperlukan tukang las khusus untuk mengoperasikannya.
"Tukang Las UN-200 mampu merekam perubahan tekanan dan suhu sambungan selama pemanasan dan pendinginan berlangsung, serta mengidentifikasi sambungan secara otomatis," tutup KCIC.
Jadi secara tidak langsung, selama proses pembangunan mega proyek ini, pemerintah China telah mendapatkan keuntungan dari penyerapan tenaga kerja serta penggunaan alat asal Negeri Tirai Bambu Tersebut. [tum]