WALINKI ID | Pemerintah menargetkan produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari (bph) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada 2030 mendatang.
Namun di sisi lain, sejumlah perusahaan migas besar asing satu per satu menyatakan mundur dari proyek hulu migas di Tanah Air.
Baca Juga:
Gandeng Mubadala Energy, PLN Siap Maksimalkan Pemanfaatan Gas Bumi
Industri hulu minyak dan gas bumi (migas) di Tanah Air tengah menghadapi tantangan besar.
Lantas, bagaimana tanggapan pemerintah tentang kondisi ini?
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan pihaknya telah berupaya semaksimal mungkin untuk menjalin komunikasi dengan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) alias produsen migas di Tanah Air.
Baca Juga:
Gandeng Mubadala Energy, PLN Siap Maksimalkan Pemanfaatan Gas Bumi
Menurutnya, pihaknya telah terbuka untuk mengomunikasikan segala sesuatunya dengan investor karena menurutnya investor ini berperan penting dalam mendukung pemerintah untuk meningkatkan produksi migas di Indonesia.
"Kita menjalin hubungan yang baik dengan industri. Komunikasi ini sangat penting, menyampaikan bahwa masalah yang timbul itu kita selesaikan, dan kita dengan internal di nasional ini kita selesaikan. Dan kita terbuka untuk komunikasi, seperti itu. Karena kita menganggap bahwa investor ini adalah pemeran utama untuk meningkatkan produksi," paparnya saat konferensi pers, Rabu (19/01/2022).
Tutuka menjelaskan selama ini pemerintah juga sudah memperbaiki sejumlah kebijakan dan insentif fiskal di hulu migas guna menarik investor.
Dia pun mengatakan, pihaknya juga sudah memberikan fleksibilitas kontrak migas sesuai keinginan investor atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), apakah ingin menerapkan Kontrak Kerja Sama (PSC) Gross Split atau PSC Cost Recovery.
Begitu pun dengan bagi hasil (split) produksi migas, menurutnya pemerintah akan mengurangi bagi hasil bagian negara bila risiko KKKS besar.
"Kita melihat sesuai dengan risikonya. Risikonya makin tinggi, maka bagian negara makin kecil. Dan itu cukup menarik," ujarnya.
Lagi pula, kata Tutuka, pemerintah selama ini selalu memberikan insentif kepada berbagai perusahaan secara profesional, sesuai dengan ketentuan yang ada.
"Kita melihat sudah muncul dampaknya dengan pemberian insentif itu, peningkatan produksi sudah muncul," tuturnya.
Seperti diketahui, sejumlah perusahaan migas besar asing yang menyatakan akan hengkang dari proyek hulu migas di Indonesia di antaranya yaitu perusahaan raksasa migas asal Belanda, Shell, yang akan mundur dari kepemilikan hak partisipasi di proyek Blok Gas Masela, Maluku.
Lalu ada juga Chevron Indonesia Company menyatakan mundur dari proyek gas laut dalam Indonesia Deep Water Development (IDD), Kalimantan Timur.
Terbaru ada ConocoPhillips, perusahaan migas asal Amerika Serikat, juga menjual aset di Blok Corridor, Sumatera Selatan.
Hengkangnya sejumlah 'raksasa' migas asing ini tentunya makin memberatkan upaya pemerintah untuk mencapai target produksi migas pada 2030 tersebut.
Tak bisa dimungkiri, Indonesia masih membutuhkan investor asing untuk berinvestasi di proyek padat modal dan berisiko tinggi ini. Sementara produksi migas di Tanah Air terus menurun setidaknya dalam satu dekade terakhir.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), realisasi produksi terangkut (lifting) minyak selama 2021 rata-rata sebesar 660 ribu barel per hari (bph), lebih rendah dari target dalam APBN 2021 sebesar 705 ribu bph.
Sementara realisasi salur (lifting) gas pada 2021 sebesar 5.501 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau terealisasi 97,5% dari target APBN sebesar 5.638 MMSCFD.
Adapun target lifting minyak pada 2022 sebesar 703 ribu bph dan lifting gas sebesar 5.800 MMSCFD. [tum]