Oleh RONNY P SASMITA
Baca Juga:
Permintaan Tinggi, Sumatera Barat kembali Ekspor Cecak 670 Kg ke Hong Kong
TAHUN 1994, edisi November/Desember nomor 73, Foreign Affairs menerbitkan tulisan Paul Krugman berjudul ”The Myth of Asia’s Miracle”.
Sebuah tulisan yang cukup mengesankan saya sekalipun saya bukanlah pengagum berat para New Keynesian.
Baca Juga:
PMN bakal Percepat Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera
Bagi Krugman ketika itu, keajaiban Asia via pertumbuhan ekonomi mengesankan dari negara-negara industri baru, jika tak benar-benar meniru Jepang, hanyalah pertumbuhan yang ”menunggu untuk tidak tumbuh”.
Krugman coba membandingkan pertumbuhan mengesankan di negara-negara industri baru Asia era 1980-1990-an dengan masa-masa awal Uni Soviet, yang tumbuh sangat progresif di fase awal lalu berakhir tragis.
Pertumbuhan di negara industri baru Asia di akhir 1980-an dan 1990-an, layaknya Uni Soviet, adalah pertumbuhan yang dibangun di atas upaya mobilisasi besar-besaran input sehingga secara rasional akan memberikan dorongan kepada output.
Namun, kata Krugman, negara industri baru Asia bermasalah dengan institusi dan struktur ekonomi yang tidak demokratis sehingga sulit untuk mendapatkan efisiensi dan mendorong teknologisasi selama bertentangan dengan kepentingan para diktator yang berkuasa di negara-negara Asia.
Uni Soviet berhasil memobilisasi modal, barang modal, dan tenaga kerja di dua dekade awal pascaperang dunia kedua.
Namun, karena institusi dan struktur ekonomi politik yang korup dan monolitik, Uni Soviet gagal memperbaiki efisiensi ekonominya yang berakibat pada perlambatan pertumbuhan secara bertahap.
Sementara Jepang pasca-kekalahan berhasil memobilisasi berbagai sumber daya sembari melakukan terobosan-terobosan manajerial dan teknologikal, yang mendorong input tidak saja menjadi sangat produktif, tetapi juga dikelola dengan sangat kreatif.
Input besar yang digelontorkan ke dalam sistem ekonomi disambut dengan kreativitas teknologikal dan efisensi manajerial, lalu menghasilkan ”keberlanjutan” yang napasnya lebih panjang dibandingkan Uni Soviet.
Walhasil, Jepang berhasil mencapai pendapatan per kapita sekira 80 persen dibandingkan Amerika Serikat di era awal 1990-an sebelum dihadang resesi dan stagnasi.
Layaknya Jepang di era Meiji yang berhasil menyejajarkan diri dengan negara-negara industri di Eropa Barat dan Amerika Utara sebelum Perang Dunia I, Jepang pasca-Perang Dunia II pun menorehkan raihan yang sama dengan duduk sejajar bersama negara-negara maju di dalam komunitas G-7 dan OECD, satu-satunya dari Asia di tahun 1990-an.
Namun, negara industri baru Asia, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Indonesia, terus memobilisasi input dalam lingkungan yang otokratik-monolitik dengan manajemen yang sangat pro-diktator.
Pada waktunya, mereka akan berhenti tumbuh progresif ketika negara tak mampu lagi memobilisasi berbagai sumber daya untuk digelontorkan sebagai input ekonomi.
Tak butuh waktu lama asumsi dari Krugman tersebut berbuah fakta.
Tiga tahun kemudian, 1997, krisis Asia membuktikan itu.
Tata kelola yang otokratik menghasilkan manajemen ekonomi yang dipenuhi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Walhasil, krisis mata uang yang bermula di Thailand berujung pada tumpukan utang dari pengusaha-pengusaha yang notabene adalah kroni dan keluarga dari penguasa.
Devaluasi yen sebelum Plaza Accord 1985 membuahkan utang murah dari ”Negeri Sakura” yang dilahap oleh konglomerasi-konglomerasi rekanan penguasa.
Namun, pembalikan nilai tukar yen pasca-1985 sampai 1996 menjerumuskan utang-utang tersebut ke dalam lubang yang lebih dalam, lalu rumah manajemen ekonomi nasional itu kolaps seketika.
Bangunan kertas itu harus diselamatkan dengan rangka bangunan baru yang berlandaskan likuiditas talangan dari negara.
Korea Selatan dan Taiwan, yang sejak semula cukup serius menjiplak gaya developmental Jepang dan sejak 1980 mulai beralih ke ekonomi politik demokratis, pelan-pelan bisa selamat.
Sementara Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand terjebak di dalam komplikasi struktural yang akut, yang sampai hari ini masih sulit menorehkan kembali angka-angka besar pertumbuhan ekonomi tahunan layaknya tahun 1980-an.
Singapura dan Hongkong masih beruntung karena berstatus sebagai negara pelabuhan dengan jumlah penduduk yang kecil.
Taraf hidup tinggi sudah dicapai walaupun gerak-gerik ekonominya tidak lagi selincah dulu.
Indonesia, pasca Orde Baru, mengubah arah nyaris 360 derajat, dengan meninggalkan gaya developmental setengah hati Soeharto menuju pendekatan neoklasikal sepenuh hati.
Diawali dengan supervisi IMF dan para teknokrat neoklasikal, Indonesia dipaksa tunduk pada aturan main penyesuaian struktural dengan disiplin fiskal kelas dewa, tetapi bukan untuk kemaslahatan rakyat banyak, melainkan untuk meyakinan para donor dan pemberi pinjaman bahwa Indonesia masih menjadi rentetan pulau-pulau yang layak diutangi.
Walhasil, kini Indonesia hanya butuh angka raihan ekonomi yang baik dengan tingkat inflasi yang moderat bersamaan dengan pertumbuhan penerimaan negara via berbagai cara agar rating surat utang negara tetap bercokol di ranah ”layak” dan ”positif”.
Perkara apakah industri nasional dihajar produk-produk manufaktur dari luar atau para petani di perdesaan dipojokkan oleh komoditas impor berharga miring sudah bukan perkara penting lagi bagi pemerintah.
Ekosistem Ekonomi Hibrida
Memasuki era Jokowi, Indonesia dibawa ke ekosistem ekonomi hibrida di mana secara fiskal pemerintah berjuang habis-habisan untuk berbelanja infrastruktur, tetapi secara makro masih dikelola dengan gaya neoklasikal.
Artinya, proyek-proyek infrastruktur hanyalah instrumen untuk mengamankan angka raihan pertumbuhan ekonomi agar tidak makin melemah, dengan inflasi rendah via rekayasa supply (impor).
Ini terutama sejak era commodities boom mulai berakhir dan pemerintahan yang baru kehilangan akal menemukan sumber pertumbuhan baru, kecuali infrastruktur.
Pemerintah tidak lagi mencoba berkiblat pada pengalaman Jepang, Korea Selatan, Taiwan, atau sekarang China yang mengintegrasikan kebijakan infrastrukturnya tidak saja untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk mengokohkan daya saing industri nasional dan menggairahkan sektor pertanian dengan disiplin ekspor tingkat tinggi.
Sampai saat ini pun kita kian hari dibuat terlena dengan raihan pertumbuhan ekonomi yang secara komparatif digadang-gadang sangat mengesankan dengan tingkat inflasi yang nyaris sejajar dengan lantai.
Namun, di tengah-tengah euforia pertumbuhan ekonomi dan proyek-proyek infrastruktur itu, industri baja meradang, industri semen kelebihan produksi, industri pelayanan penerbangan kelimpungan, industri asuransi dilanda skandal demi skandal, manufaktur nasional menua dan deindustrialistik, bersamaan dengan petani-petani yang menyaksikan hasil pertaniannya dilindas oleh komoditas impor yang ikut nimbrung di atas aspal jalan desa hasil karya proyek infrastruktur negara.
Kita kini terlena dan perlu mengingat kembali secara kontemplatif kalimat apa yang digunakan Paul Krugman untuk menutup tulisannya kala itu.
”But economics is not a dismal science because the economists like it that way, it is because in the end we must submit to the tyranny not just of the numbers, but of the logic they express,” tulis Krugman mengakhiri tulisannya.
Kita tidak hanya memerlukan angka pertumbuhan yang tinggi, tetapi juga harus memahami segala sesuatu yang telah menciptakan angka tersebut.
Jika hanya angka besar di atas kertas yang tidak mewakili kapasitas, kekuatan, dan daya saing perekonomian nasional secara fundamental, angka tersebut suatu waktu akan kehilangan makna. (Ronny P Sasmita, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution)-as
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Refleksi Pertumbuhan Ekonomi”. Klik untuk baca: Refleksi Pertumbuhan Ekonomi - Kompas.id.