WALINKI ID I Rupiah sedang terpuruk dalam dua pekan terakhir melawan dolar Amerika Serikat (AS). Mata Uang Garuda tidak pernah menguat dalam 11 hari perdagangan terakhir. Rinciannya, melemah 9 kali, stagnan 2 kali.
Sepanjang pekan ini, rupiah mencatat pelemahan 0,66% ke Rp 14.395/US$, dan berada di level terlemah dalam 14 minggu terakhir. Sementara dalam 11 hari tak pernah menguat, rupiah merosot 1,2%.
Baca Juga:
3 Faktor Ini Bikin Rupiah Loyo ke Level Rp15.500, Dolar AS Terus Menguat
Dilansir dari CNBC Indonesia, setidaknya ada dua hal yang bakal memberatkan rupiah, kemungkinan bank sentral Amerika Serikat (AS) lebih agresif dalam menormalisasi kebijakannya serta virus corona varian Omicron.
The Fed secara resmi mengumumkan melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) sebesar US$ 15 miliar setiap bulannya mulai November lalu. Dengan nilai QE sebesar US$ 120 miliar, butuh waktu 8 bulan untuk menyelesaikannya. Artinya, tapering akan berakhir pada bulan Juni tahun depan.
Namun dalam beberapa pekan terakhir banyak pejabat elit The Fed yang mendorong tapering dilakukan lebih cepat guna meredam tingginya inflasi. Dan, ketua The Fed Jerome Powell di pekan ini mengatakan bisa mempercepat laju tapering.
Baca Juga:
Dolar AS Terus Menguat, Rupiah Tertekan ke Level Rp15.500
"Saat ini perekonomian sangat kuat dan inflasi juga sangat tinggi, oleh karena itu menurut pandangan saya akan tepat jika mempertimbangkan menyelesaikan tapering lebih cepat, mungkin beberapa bulan lebih awal," kata Powell di hadapan Senat AS, sebagaimana diwartakan CNBC International, Selasa (30/11).
Powell juga mengatakan akan membahas mengenai percepatan tapering di bulan ini.
"Saya mengharapkan The Fed akan mendiskusikan percepatan tapering pada rapat bulan Desember," tambah Powell.
The Fed akan mengadakan rapat kebijakan moneter pada 14 dan 15 Desember waktu setempat. Sebelum pengumuman kebijakan moneter tersebut, rupiah perlu berjuang ekstra keras untuk menguat.
Namun yang terpenting adalah proyeksi suku bunga The Fed, yang disebut Fed dot plot. Setiap akhir kuartal, The Fed akan memberikan proyeksi suku bunganya, terlihat dari dot plot.
Dalam dot plot edisi September, sebanyak 9 orang dari 18 anggota Federal Open Market Committee (FOMC) kini melihat suku bunga bisa naik di tahun depan. Jumlah tersebut bertambah 7 orang dibandingkan dot plot edisi Juni. Saat itu mayoritas FOMC melihat suku bunga akan naik di tahun 2023.
Dot plot tersebut juga bisa menggambarkan seberapa agresif The Fed akan menaikkan suku bunga di tahun depan. Semakin agresif, maka rupiah akan semakin terpuruk.
Untuk saat ini, The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga dua hingga tiga kali di tahun depan.
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 44,7% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (0,25%) menjadi 0,25% - 0,5% pada Juni 2022.
Kemudian The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga lagi pada bulan September dan Desember 2022, masing-masing sebesar 25 basis poin.
Prediksi kenaikan tersebut terbilang agresif, dan memberikan tekanan bagi rupiah.
Dibandingkan mata uang utama Asia, rupiah menjadi yang terburuk di pekan ini. Beberapa mata uang lainnya memang melemah, tetapi tidak sebesar rupiah.
Virus corona varian Omicron masih terus menyebar, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengatakan setidaknya 38 negara sudah "disusupi".
Virus Omicron yang dikatakan lebih gampang menyebar ketimbang varian delta serta ada kemungkinan kebal terhadap vaksin dikatakan bisa "menguasai" dunia dalam 3 sampai 6 bulan ke depan.
Hal itu dikatakan oleh dokter spesialis penyakit menular, Leong Hoe Nam, dari rumah sakit Mount Elizabeth Novena.
“Sejujurnya, Omicron akan mendominasi dan membanjiri seluruh dunia dalam 3 sampai 6 bulan ke depan," kata Leong dalam acara Street Signs Asia, CNBC International Rabu (1/12).
Saat ini corona varian Delta yang menguasai dunia. Menurut laporan Reuters penyakit akibat virus corona (Covid-19) saat ini 99% merupakan varian Delta, yang pertama kali ditemukan di India pada bulan Maret 2021, dan mendominasi di dunia di bulan Juli.
Artinya dalam tempo 4 bulan Delta "menguasai" dunia, dengan Omicron yang dikatakan lebih menular tentunya bisa lebih cepat lagi jika tidak menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Penyebaran tersebut dikhawatirkan akan membuat perekonomian dunia melambat lagi, sehingga sentimen pelaku pasar memburuk. Terlihat dari bursa saham global yang beberapa kali ambrol di pekan ini. Rupiah yang merupakan aset negara emerging market juga terkena imbasnya, pelaku pasar mulai menjauhi rupiah.
Hal tersebut terlihat dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters.
Hasil survei tersebut menunjukkan pelaku pasar yang sebelumnya mengambil posisi beli (long) rupiah, kini berbalik menjadi jual (short).
Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.
Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.
Survei ini lagi-lagi konsisten dengan pergerakan rupiah, ketika investor mengambil posisi long rupiah akan menguat begitu juga sebaliknya.
Survei terbaru yang dirilis hari ini, Kamis (2/12/2021) menunjukkan angka untuk rupiah di 0,15, berbalik dari naik dari 2 pekan lalu -0,72.
Dari 9 mata uang yang disurvei, hanya yuan China yang masih diburu para pelaku pasar, dengan angka -0,88, naik tipis dari sebelumnya -0,87. Rupiah yang sebelumnya berada di urutan kedua kini menyusul mata uang lainnya yang sudah terlebih dahulu dijual pelaku pasar. (tum)