WahanaKonsumen.com | Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi, mengatakan, evaluasi tarif tes usap real time polymerase chain reaction (RT-PCR) dilakukan secara berkala.
Evaluasi dilakukan oleh Kemenkes bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Baca Juga:
Kemenkes Katakan Kasus Kematian Akibat Virus Corona di Indonesia Kembali Meningkat
Salah satu tujuan evaluasi yakni untuk menutup celah bagi kepentingan bisnis dalam penyediaan jasa tes PCR.
"Kami secara berkala bersama BPKP melakukan evaluasi terhadap tarif pemeriksaan, menyesuaikan dengan kondisi yang ada," ujar Nadia, dilansir dari siaran pers di laman resmi Kemenkes, Senin (8/11/2021).
"Proses evaluasi harga ini tentunya dilakukan untuk menutup masuknya kepentingan bisnis dan menjamin kepastian harga bagi masyarakat," tegasnya.
Baca Juga:
Menteri Kesehatan akan Buat Aturan Test PCR Bisa di Apotek
Selain itu, Nadia menyebutkan, proses evaluasi merupakan standar dalam penentuan harga suatu produk maupun layanan dan untuk menjamin kepastian harga bagi masyarakat.
Dia menuturkan, evaluasi terhadap tarif pemeriksaan RT-PCR oleh Kemenkes bersama BPKP sudah dilakukan sebanyak tiga kali.
Pertama, pada 5 Oktober 2020, ditetapkan pemeriksaan RT PCR Rp 900.000.
Kedua, pada 16 Agustus 2021, ditetapkan pemeriksaan RT PCR Rp 495.000 untuk Pulau Jawa dan Bali, serta Rp 525.000 untuk di luar pulau Jawa dan Bali.
Terakhir, pada 27 Oktober 2021, ditetapkan Rp 275.000 untuk pulau Jawa dan Bali, lalu Rp 300.000 untuk di luar pulau Jawa dan Bali.
“Saya tegaskan sekali lagi, dalam menentukan harga RT-PCR, Kemenkes (Dirjen Yankes) tidak berdiri sendiri, namun dilakukan bersama dengan BPKP," kata Nadia.
Adapun, perhitungan biaya pengambilan dan pemeriksaan RT-PCR, terdiri dari komponen-komponen jasa pelayanan/SDM, komponen reagen dan bahan habis pakai (BHP), komponen biaya administrasi, overhead, dan komponen biaya lainnya yang disesuaikan dengan kondisi saat ini.
“Reagen merupakan komponen harga paling besar dalam pemeriksaan swab RT-PCR, mencapai 45-55 persen,” ungkap Nadia.
Dia lantas menganalogikan kelangkaan stok masker dan APD di awal pandemi yang juga berpengaruh terhadap harga saat itu.
Namun, kondisi tersebut berangsur-angsur membaik dengan semakin bertambahnya produsen masker dan APD.
Demikian juga dengan reagen Swab RT-PCR, dimana pada saat awal hanya terdapat kurang dari 30 produsen yang ada di Indonesia.
Namun saat ini sudah terdapat lebih dari 200 jenis reagen swab RT-PCR yang masuk ke Indonesia dan mendapatkan izin edar dari Kemenkes dengan harga yang bervariasi.
"Artinya sudah terjadi persaingan variasi dan harga untuk komponen reagen swab RT-PCR," tutur Nadia.
Sebagaimana diketahui, swab RT-PCR masih menjadi standar dalam mendiagnosis kasus positif Covid-19, tidak hanya di Indonesia, namun juga pada level global.
Kebutuhan akan pemeriksaan RT-PCR didorong oleh peningkatan pemeriksaan spesimen di Indonesia, di mana angka positivity rate di Indonesia saat ini sudah dibawah 0,4 persen dari standar yang ditetapkan WHO.
“Semakin cepat kasus positif ditemukan, semakin cepat dapat dipisahkan dari orang yang sehat, tentunya ini dapat mencegah penyebarluasan virus Covid-19 di dalam masyarakat” tambah Nadia.[ass]