WahanaNews.co | Desas desus merger Gojek dan Tokopedia akhirnya terjawab.
Kedua perusahaan itu akhirnya membenarkan kabar yang telah beredar di publik sejak setahun terakhir, dengan pengumuman merger menjadi Grup GoTo.
Baca Juga:
Fasilitasi Transportasi Dinas Karyawan, PLN Gandeng Pihak GoTo
GoTo diklaim menjadi kolaborasi usaha terbesar di Indonesia, sekaligus kolaborasi terbesar antar dua perusahaan internet dan layanan media di Asia pada saat ini.
Nantinya, kedua perusahaan akan saling melengkapi untuk berbagai layanan kepada konsumen, mulai dari e-commerce, pengiriman barang dan makanan, transportasi, hingga keuangan.
Aksi korporasi ini coba dibaca oleh Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef, Nailul Huda.
Baca Juga:
Fasilitasi Transportasi Dinas Karyawan, PLN Gandeng Pihak GoTo
Menurut Huda, merger Gojek dan Tokopedia memang mau tidak mau perlu dilakukan karena persaingan di sektor ekonomi digital Indonesia semakin mengerucut ke pemain besar.
Dominasinya bahkan sudah menembus ke level Asia Tenggara (ASEAN).
Pertama, ada SEA Group dengan salah satu lini usahanya e-commerce Shopee.
Kedua, kolaborasi usaha dari Grab, OVO, dan EMTEK.
Nah, Gojek dan Tokopedia berusaha menjawab tantangan ini melalui aksi merger.
"Pembentukan GoTo ini saya rasa tujuannya adalah menyaingi SEA Group dan Grab dkk yang menguasai pasar ekonomi digital di ASEAN," kata Huda kepada wartawan.
Menurut Huda, bila tujuannya bersaing di pasar Asia Tenggara, GoTo punya potensi untuk meningkatkan pangsa pasar dan valuasinya.
Prediksinya, nilai valuasi merger GoTo bisa mencapai US$ 20 miliar sampai US$ 25 miliar atau setara Rp 284 triliun hingga Rp 355 triliun (kurs Rp 14.200 per dolar AS).
"Meski ini masih jauh dibandingkan (prediksi valuasi) SEA Group mencapai US$ 120 miliar, namun jika strateginya manjur, maka IPO (penawaran saham ke publik di bursa saham) bisa (membuat valuasi) menjulang tinggi, terutama jika bisa menguasai pangsa pasar di Indonesia, yang merupakan pangsa pasar terbesar di ASEAN," jelasnya.
Tapi, kalau ingin bersaing di pasar Asia, menurut Huda, potensi untuk menjadi raja masih cukup sulit.
Sebab, suka tidak suka, faktanya, dominasi para perusahaan digital China masih menjadi yang paling kuat di Asia.
"Unicorn di ASEAN belum bisa bersaing dengan raksasa digital semacam Alibaba. GoTo juga masih jauh sepertinya," tuturnya.
Hal yang sama juga diamini oleh ekonom Indef lainnya, Bhima Yudhistira Adhinegara.
Menurut Bhima, tantangan di level Asia sangat besar, karena ada pemain seperti Alibaba dan Tencent.
"Masih sulit diperkirakan kalau level Asia, tapi kalau di Asia Tenggara mungkin (pangsa pasar dan valuasi) bisa cukup meningkat pascamerger, itu pun harus waspada dengan Shopee dan Grab yang mungkin lakukan merger," ucap Bhima.
Bhima melihat, merger GoTo saat ini lebih ditujukan untuk melengkapi berbagai layanan yang bisa diberikan kedua perusahaan kepada konsumen.
Pasalnya, Gojek punya kelebihan dari jasa on-demand dan sistem pembayaran digital.
Sementara Tokopedia menjadi pemain besar di sektor e-commerce.
Berbagai hal ini yang coba digabungkan agar semakin kuat menjadi satu grup, sehingga layanan pun bisa terintegrasi kepada konsumen.
"Ini memang menjadi momentum untuk meningkatkan market share Gojek maupun Tokopedia secara signifikan atau besar," ujar Bhima.
Lepas dari seluk beluk merger dan potensi GoTo di level Asia Tenggara hingga Asia, tentu lebih konkret jika bicara apa sebenarnya dampak merger kedua perusahaan bagi konsumen di dalam negeri?
Bhima melihat, ada beberapa simulasi dampak.
Pertama, usai merger, bila perusahaan jadi melakukan penawaran saham ke publik (Initial Public Offering/IPO), maka pendanaan yang mereka himpun bisa lebih besar.
Pada kondisi ini, ada dua kemungkinan, yaitu bisa saja meningkatkan promo hingga diskon tarif kepada pengguna.
Sebab, semakin banyak sumber dana yang bisa "dibakar untuk memenangkan hati pasar".
Tapi, karena IPO, ada pertanggungjawaban ke publik, bisa juga sebaliknya.
Promo hingga diskon jadi terbatas, karena perusahaan harus berorientasi kepada profit alias keuntungan, karena sahamnya sudah dipegang oleh publik.
"Maka promonya sendiri itu mungkin akan berkurang karena sudah berorientasi pada profitabilitas, apalagi nanti kalau sudah mulai dibuka ke publik, IPO, tuntutan dari investor publik akan lebih banyak mendorong untuk mencari profitabilitas. Ini yang nanti jadi pertanyaan, apakah konsumen akan loyal? Ini akan terlihat beberapa bulan atau tahun ke depan," ungkap Bhima.
Kedua, menurut Bhima, usai merger, ada kemungkinan kedua perusahaan akan lebih mengembangkan kelogistikan yang terintegrasi, sehingga tetap ada potensi layanan ongkos kirim alias ongkir jadi lebih murah bagi pengguna.
Khususnya untuk pengiriman barang belanjaan di Tokopedia, karena bisa memanfaatkan jaringan kelogistikan dari Gojek.
Ketiga, sistem pembayaran dan pinjam meminjam (peer-to-peer lending) bisa jadi semakin kuat dan gencar ditawarkan ke pengguna.
"Jadi ke depan, sangat mungkin orang beli barang di Tokopedia bisa menggunakan skema kredit dari Gopay, jadi dia tidak hanya sistem pembayaran tapi juga P2P karena sudah ada PayLater," terangnya.
Selain tiga hal itu, ada pula dampak negatif dari merger ini.
Belajar dari perkembangan perusahaan digital di China yang dikuasai oleh segelintir pemain besar, hal ini bisa memicu terciptanya persaingan yang kurang sehat.
"Ini bisa mengulang kasus di China, mungkin tidak mirip, tapi hampir sama, di mana salah satu kelemahan sistem digital yang terintegrasi ke segelintir pemain, itu bisa menghambat inovasi pemain baru. Masalah lain antitrust terkait monopoli pasar digital," katanya.
Menurutnya, bila pasar digital sudah terlanjur dikuasai pemain besar, maka pemain kecil akan sulit berkembang.
Sekalipun mereka berani masuk ke pasar dan punya inovasi yang bagus, belum tentu hal itu dilirik pasar, karena sudah bergantung pada ekosistem yang lebih luas dari pemain-pemain besar.
"Ini membuat switching cost orang untuk pindah dari satu platform ke platform lain menjadi mahal, sulit," imbuhnya.
Sementara, Huda melihat, dampak jangka pendek merger Gojek dan Tokopedia sudah pasti akan menguntungkan konsumen.
Sebab, mereka akan semakin mengambil hati pasar dulu.
"Konsumen akan diuntungkan dengan adanya persaingan dalam hal harga, seperti diskon, gratis ongkir, hingga cashback, yang saya rasa masih akan digunakan untuk bersaing," tutur Huda.
Tapi dalam jangka panjang, menurutnya, cara bersaing yang seperti ini justru tidak sehat.
Pasalnya, hanya dirajai oleh pemain-pemain besar saja. [ASS]