Oleh: SINGGIH WIDAGDO
Baca Juga:
Sederet Biskuit Asal Malaysia Diklaim Mengandung Zat Pemicu Kanker
“THE sky is the limit,” tepat untuk menggambarkan kenaikan harga batubara saat ini.
Harga terus meroket.
Baca Juga:
Menteri PDTT: 20 Investor Akan Borong Produk Unggulan Desa di Bali
Siapa pun tak mudah memprediksi sampai sebatas mana kenaikan harga batubara akan berhenti.
Level tertinggi selama 13 tahun terakhir yang terjadi awal Juli 2008, yaitu 190,95 dollar AS per ton, ternyata dapat dilewati Oktober 2021.
Harga kontrak batubara di NewCastle mampu menembus 231,90 dollar AS per ton.
Bahkan untuk pasar Eropa (pasar Atlantik), harga CIF Amsterdam-Rotterdam-Antwerp (ARA), mampu menembus 301 dollar AS per ton di awal Oktober (5/10/2021).
Harga Batubara Acuan (HBA), sebagai formulasi gabungan dari tiga indeks internasional (Newcastle Export Index, Global Newcastle Index dan Platt’s) dan Indonesia Coal Index, naik cukup tajam menjadi 161,63 dollar AS per ton.
Batubara Indonesia lebih banyak terserap di pasar Pasifik sebagai pasar utama, dengan China sebagai pemegang kunci penting dalam memainkan harga batubara.
Kondisi krisis batubara di China, lebih didorong oleh pertumbuhan kebutuhan batubara pasca-pandemi Covid-19, yang tidak diikuti keberhasilan Pemerintah China menaikkan produksi batubara nasionalnya.
Produksi batubara China sampai pertengahan 2021, tumbuh 4,1 persen dibandingkan periode yang sama di 2019.
Sedangkan pembangkit listrik untuk merespons kenaikan kebutuhan energi sektor properti dan industri, tumbuh 7,4 persen.
Saat ini stok batubara China sebatas cukup untuk sekitar 14 hari operasi.
China hanya punya dua pilihan: meningkatkan impor atau meningkatkan produksi di dalam negeri.
Menyikapi hal ini, Pemerintah China, lewat National Energy Administration (NEA) dan National Development and Reform Commision (NDRC), terus mendorong peningkatan produksi batubara dari lokasi tambang terbaiknya, yaitu Shanxi, Shaanxi dan Inner Mongolia.
Krisis energi China saat ini merefleksikan betapa tidak mudah menghadapi dua masalah yang saling kontradiktif, antara visi jangka panjang untuk membatasi penggunaan batubara, dan sebaliknya memenuhi kebutuhan energi dalam jangka pendeknya.
Tingginya harga batubara seolah memberi pesan, betapa kompleks dan rapuhnya pasar komoditas energi, bersamaan dengan kompleksitas transisi energi yang akan terjadi.
Ada saling keterkaitan antara tingginya ketergantungan energi global, dan mata rantai pasokan berbagai energi fosil.
Penetapan harga batubara, tak lagi sebatas memetakan permintaan dan penawaran.
Selain mata rantai pasokan, evaluasi kebijakan energi, dan rencana ke depan berbagai negara adalah faktor lain yang melekat di dalamnya.
Pasar batubara bukan lagi pasar yang tak begitu elastis (less elastic).
Harga batubara yang mampu terdorong naik sampai 300 persen sejak pertengahan Desember 2020, membuktikan harga batubara sangat volatile.
Begitu juga sebaliknya, penurunan harga batubara dengan cepat pun bisa terjadi dengan mudah.
Tingginya harga batubara tentu sangat menguntungkan negeri kita; baik bagi perusahaan tambang maupun pemerintah.
Setelah menahan napas hampir dua tahun akibat tertekannya harga batubara, peluang memperbesar pundi-pundi ada di depan mata.
Pemerintah diuntungkan dengan meningkatnya Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP) dan pajak lainnya.
Sebaliknya dengan disparitas harga batubara antara harga ekspor dan ketetapan harga batubara 70 dollar AS per ton untuk kelistrikan umum, pemerintah harus mampu menjaga komitmen penambang untuk memasok batubara demi kepentingan keandalan kelistrikan di dalam negeri melalui kebijakan Domestic Market Obligation (DMO).
Selain DMO dan harga batubara yang bergerak demikian volatile, antisipasi terjadinya penurunan harga harus segera disikapi pemerintah (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM) lewat berbagai langkah konkret.
Berbeda dengan Australia yang industri pertambangan batubaranya dikelola oleh perusahaan skala besar, perusahaan pertambangan di Indonesia dikelola oleh sebatas hitungan jari pelaku industri pertambangan skala besar (PKP2B dan IUPK), dan ratusan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) yang sebagian berskala kecil.
Kondisi Pasar
Sampai awal Oktober 2021, produksi batubara nasional telah mencapai 458 juta ton atau sekitar 73 persen dari target total produksi nasional sebesar 625 juta ton.
Bisa dipastikan target produksi dan ekspor akan tercapai di akhir 2021.
Diproyeksikan ekspor batubara akan kembali mendekati angka ekspor tertinggi (2019) 455 juta ton, setelah ekspor turun di 2020 menjadi 405 juta ton akibat hantaman pandemi.
Namun, laju peningkatan produksi batubara, ironisnya tidak diikuti kenaikan konsumsi batubara dalam negeri dengan cepat.
DMO batubara diproyeksikan sebatas 25 persen dari total produksi.
Besarnya DMO ini pun, diproyeksikan akan sama dalam tiga tahun ke depan.
Dari total kebutuhan batubara, hampir 80 persen didominasi untuk kebutuhan PLTU batubara.
Akibatnya, 75 persen dari total produksi batubara nasional dikapalkan untuk memenuhi pasar ekspor.
Inilah yang akhirnya jadi target sebagian besar penambang batubara dalam meningkatkan produksi.
Dari seluruh ekspor batubara Indonesia, hampir 54 persen untuk memenuhi kebutuhan PLTU batubara di China dan India.
Dengan total kapasitas PLTU batubara di seluruh China sebesar 1.050 gigawatt (GW), hampir 48,2 persen PLTU batubara dunia terkonsentrasi di China.
Sementara untuk Indonesia, dari seluruh kapasitas pembangkit 63,3 GW, total kapasitas PLTU batubara sebatas 35.000 megawatt (MW).
Dari sini terlihat, China tetap akan menjadi pangsa pasar ekspor batubara terbesar bagi Indonesia.
Ini diperkuat lagi dengan keputusan China untuk terus meningkatkan kebutuhan batubara sampai batasan 4,3 miliar ton di 2025/2026, dan akan tetap dijaga sebagai batas maksimal penggunaan batubara di dalam negeri.
Bisa dipastikan, China akan tetap menjadi pemain utama dalam peta energi global abad 21.
Setelah China, India adalah importir kedua terbesar batubara dari Indonesia.
Dua produsen batubara terbesar India, Coal India Limited (CIL) dan Singareni Collieries Company Limited (SCCL), hanya mampu memproduksi 716 juta ton batubara di dalam negeri.
Target produksi satu miliar ton tak mudah direaliasikan, sehingga India tetap jadi importir terbaik kedua bagi Indonesia.
Sebagaimana krisis energi China, hampir separuh lebih dari 135 PLTU batubara India, cadangan batubaranya sebatas untuk tiga hari operasi.
Sampai pertengahan 2021, impor batubara India jenis steam coal, mencapai 80,61 juta ton, naik 8,37 persen dibandingkan periode sama 2020 yang sebesar 74,38 juta ton.
Impor batubara (steam coal) India di 2021 diproyeksikan akan mendekati level sebelum pandemi Covid-19 (2019), yaitu sebesar 185 juta ton.
Ekspor batubara Indonesia ke India 122 juta ton.
India tetap menjadi pasar batubara yang menarik bagi Indonesia, mengingat total kapasitas PLTU batubara India sebesar 209,2 GW.
Bahkan, Central Electricity Authority (CEA), mempertegas akan menambah kapasitas PLTU batubara sampai mencapai puncaknya di 2029/2030 sebesar 267 GW.
Antisipasi Kebijakan
Melonjaknya harga batubara, ibarat durian runtuh yang memperbesar pundi-pundi bagi penambang dan Pemerintah Indonesia.
Namun harus disadari, dibalik tingginya harga muncul berbagai potensi risiko, yang harus menjadi perhatian serius pemerintah.
Berbagai kebijakan perlu disiapkan untuk meminimalkan risiko tingginya harga batubara, yang secara volatile, sewaktu-waktu bahkan dalam waktu cepat berpotensi terkoreksi.
Tanpa melakukan antisipasi atas tingginya harga batubara, dapat memunculkan masalah sosial dan lingkungan yang tidak mudah diselesaikan dalam waktu singkat.
Melihat sifat harga batubara yang bergejolak, jika terjadi penurunan harga dengan cepat, berbagai tambang skala kecil akan berhenti tanpa didahului reklamasi matang.
Akibatnya akan terjadi kerusakan lingkungan, terhentinya tenaga kerja lokal, menurunnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan bahkan meningkatnya kredit macet jika tambang memiliki pinjaman dari perbankan.
Sampai saat ini, tercatat 1.307 perizinan batubara yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dari jumlah itu, 144 menjadi kewenangan pemerintah pusat, dan mayoritas atau 1.163 IUP, justru menjadi kewenangan pemerintah provinsi.
Dengan ditariknya kewenangan izin pertambangan ke pemerintah pusat, sesuai amanah UU No. 2 Tahun 2020, semestinya akan lebih memudahkan pemerintah pusat melakukan konsolidasi.
Prioritas pertama yang harus diperkuat adalah menyelamatkan kebutuhan batubara dalam negeri, khususnya untuk kelistrikan umum, agar komitmen pasokan ke PLN tetap berjalan lancar.
Dengan kondisi disparitas harga yang cukup tinggi antara harga ekspor dan ketetapan harga batubara untuk kelistrikan umum sebesar 70 dollar AS per ton, dibutuhkan pengawasan penuh oleh Kementerian ESDM.
Langkah Kementerian ESDM membantu PLN mengamankan kebutuhan batubara selama ini, perlu diteruskan untuk menjaga keandalan pasokan listrik nasional.
Sikap tegas Kementerian ESDM terhadap pemasok yang tak memenuhi kewajiban DMO, dengan melarang ekspor, diperlukan, sesuai amanah UU Minerba.
Bahkan dalam amanah UU ini, pemerintah diberi kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi, penjualan, dan harga batubara, untuk menjaga kepentingan nasional.
Beberapa langkah lain yang perlu segera dipersiapkan Kementerian ESDM adalah, pertama, mengingat kualitas batubara yang tersebar di Indonesia tidak seluruhnya dapat diserap PLN, maka Kementerian ESDM harus segera mempersiapkan cetak biru Coal Processing Plant (CPP), termasuk fasilitas blending plant, agar kebutuhan batubara di dalam negeri menjadi lebih lebar; dari kualitas rendah sampai tinggi.
Siapapun dapat membangun CPP.
Namun cetak biru lebih tepat disiapkan oleh Kementerian ESDM, mengingat tanggung jawab dalam mengelola sumber daya alam (batubara) melekat di tangan pemerintah.
Pembangunan CPP dapat membantu IUP-OP, agar tetap beroperasi dengan mekanisme blending saat harga tertekan.
Kepentingan CPP, bukan sebatas alasan pasar dan keekonomian, tapi juga bisa menghindarkan kerusakan lingkungan jika tambang ditinggalkan tanpa program reklamasi.
Kedua, Kementerian ESDM tetap harus memonitor secara global pertumbuhan PLTU Batubara di tengah transisi oleh China dan India, sebagai dua negara importir terbesar Indonesia.
Pengendalian produksi batubara nasional menjadi kata kunci yang harus dikedepankan.
Mengingat titik kritis atau puncak kebutuhan batubara China akan terjadi di 2025/2026, sebaiknya pemerintah menetapkan produksi batubara nasional selama lima tahun ke depan.
Bersamaan dengan itu, Rencana Kerja Anggaran Belanja (RKAB) bagi perusahaan dapat dibuat untuk lima tahun, namun tetap dievaluasi setiap tahun.
Ini menjadi langkah terbaik bagi perusahaan tambang dalam memastikan besarnya investasi ke depan.
Sebaliknya bagi perusahaan jasa pertambangan, akan dapat memetakan ekspansi secara jelas dan pasti dalam menyiapkan berbagai alat berat untuk mendukung operasi penambangan. (Singgih Widagdo, Ketua Indonesian Mining & Energy Forum - IMEF)-dhn
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Batubara dan Krisis Energi Dunia”. Klik untuk baca: Batubara dan Krisis Energi Dunia - Kompas.id.