Selain insentif dan subsidi, pemerintah juga perlu membuat aturan yang mengharuskan pengusaha batu bara menjual produknya dengan persentase tertentu kepada perusahaan yang memproduksi DME sebagai domestic market obligation (DMO).
Di sisi lain, pengusaha batu bara harus mengubah pardigma dalam pengusahaan batu bara dari 'keduk-jual' menjadi keduk-hilirisasi-jual. "Perubahan paradigma pengusaha Batu bara itu akan memberikan kontribusi tidak hanya dalam meningkatkan nilai tambah Batu bara, tetapi juga dalam mencapai ketahanan energi dan menghasilkan energi yang lebih ramah lingkungan di Indonesia," paparnya.
Baca Juga:
Pertamina Patra Niaga Regional JBB Awasi Takaran Isi Tabung LPG 3 kg
Senada dengan itu, Pengamat Migas dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro juga mengatakan, rencana tersebut bagus untuk diimplementasikan di Indonesia. Menurutnya, gasifikasi batu bara atau mengubah LPG ke DME dapat menekan praktek impor.
"Saya kira bagus jika dapat diimplementasikan. Pengembangan DME dapat berpotensi mengurangi impor LPG. Berkurangnya impor LPG, memperbaiki neraca perdagangan dan kondisi fiskal," kata dia.
Terkait nilai keekonomian saat ini sedang dilakukan studi dan uji coba produksi. Namun, di beberapa negara contohnya China, harga keekonomiannya di bawah harga LPG.
Baca Juga:
Kementerian ESDM Temukan LPG Oplosan di Jabodetabek-Bali, Dijual Harga Murah
Sekedar informasi, berdasarkan bahan paparan Fahmy Radhi, proyek gasifikasi batu bara ini merupakan kerja sama antara PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Pertamina (Persero) dan Air Product USA, akan mendatangkan investasi asing yang masuk ke Indonesia sebesar US$ 2,1 miliar setara sekitar Rp 30 triliun.
Proyek itu juga akan membuka lapangan pekerjaan sekitar 10.570 orang pada tahap konstruksi dan 7.976 orang pada tahapan operasi. Manfaat langsung yang diperoleh Pemerintah Daerah diperkirakan hingga Rp 800 miliar per tahun. (JP)