Konsumen.WahanaNews.co, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Ketum Aprindo) Roy Nicholas Mandey berharap konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel tidak mengorbankan hak konsumen untuk membeli dan mengkonsumsi produk tertentu.
Roy mengatakan, Aprindo sangat mengapresiasi dan mendukung usaha-usaha perdamaian yang dilakukan oleh pemerintah. Namun demikian, pihaknya meminta agar hak konsumen untuk memilih, membeli dan mendapatkan produk tidak dikorbankan.
Baca Juga:
Garuda Indonesia dan Aprindo Bersinergi di Bidang UMKM Melalui Jaringan Logistik
"Ketika hak itu tidak tercapai, lalu mereka harus bagaimana? Apakah harus menggantikan, tapi kalau tidak cocok bagaimana dan menimbulkan efek lainnya. Jadi membeli, mengkonsumsi itu hak konsumen, hak masyarakat, untuk itu perlu dilindungi, dijaga marwahnya," ujar Roy dalam jumpa pers Aprindo di Jakarta, Rabu (16/11/23).
Diketahui, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa membeli produk dari produsen yang secara nyata mendukung agresi Israel ke Palestina hukumnya haram.
Umat Islam juga diminta semaksimal mungkin menghindari transaksi ataupun menggunakan produk Israel dan yang terafiliasi dengan Israel serta yang mendukung penjajahan.
Baca Juga:
Ijtima Ulama Fatwa MUI: Salam Lintas Agama Bukan Bagian Toleransi, Kemenag Angkat Suara
Roy menekankan, Aprindo tidak pernah menentang fatwa dari MUI maupun membela jenama-jenama yang terkait dengan Israel. Menurut Roy, dalam hal ini Aprindo berusaha untuk menjaga hak dari konsumen.
"Kita dukung perdamaian, jaga hak konsumen yang terus memenuhi kebutuhan pokoknya setiap hari dan pemerintah harus hadir. Pemerintah harus bicara gimana langkah-langkah ini tidak membiarkan yang sifatnya jadi enggak comfort, karena pelaku usaha tidak punya wewenang seperti pemerintah," kata Roy.
Lebih lanjut, Roy menjelaskan, pemboikotan produk yang terafiliasi dengan Israel, dalam jangka menengah dan panjang dapat memberikan dampak pada produsen atau suplier yang memiliki pabrik di Indonesia.
Saat produksi produk dari suplier tertentu berkurang dan berhenti, maka akan memberikan dampak pada pengurangan tenaga kerja.
"Begitu tergerus produsennya atau supliernya, divestasi misalnya, pertumbuhan pasti enggak terjadi, bahkan pelaku usaha tidak mau melakukan ini, yaitu pengurangan tenaga kerja atau PHK. Jadi hubungannya sangat langsung," kata Roy.
[Redaktur: Amanda Zubehor]