KONSUMEN.net | Produk asuransi berbasis investasi, unit link kembali memakan korban, yang terbaru dialami nasabah Prudential. Industri perasuransian ini diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Atas maraknya korban unit link, peran OJK pun disorot. Apa saja?
1. Pengawasan-Perlindungan Konsumen Lemah
Baca Juga:
Pagar SMKN 1 Kota Jambi Ambruk Telan 3 Korban jiwa
Pengamat asuransi Irvan Rahardjo menilai OJK lemah dalam menjalankan fungsi pengawasan dan perlindungan konsumen. Menurut dia itu disebabkan adanya konflik kepentingan, di mana industri asuransi selama ini menyetorkan iuran kepada OJK.
"Nah dia kan lemah soal pengawasan dan perlindungan konsumen, di antaranya penyebabnya karena ada konflik kepentingan, karena dia dihidupi dari iuran industri sehingga dia tidak bisa semudah itu membela konsumen, karena dia hidup dari iuran industri keuangan, jadi ada konflik kepentingan," katanya melansir detikcom, Kamis (20/1/2022).
Faktor lainnya disebabkan oleh adanya gap antara peraturan yang ketat dengan pengawasan yang lemah, termasuk untuk industri asuransi unit link. Irvan berpendapat pengawasan di OJK lemah karena tidak konsisten menegakkan aturan.
Baca Juga:
LAK DKI Jakarta Buka Posko Pengaduan untuk Kasus Asuransi PT Axa Financial Indonesia
"Itu yang sering terjadi, misalnya dalam banyak kasus kan sudah kita lihat soal Jiwasraya sudah bertahun-tahun mengalami kesulitan keuangan, Bumiputera, Kresna Life, WanaArtha," sebutnya.
2. Penjualan Unit Link Harus Dibatasi
Irvan menyarankan agar produk unit link dimoratorium secara terbatas dengan melarang perusahaan asuransi menjual produk unit link tersebut kepada masyarakat yang literasi asuransinya masih sangat terbatas.
Sebab, dalam praktiknya penjualan produk unit link begitu merugikan masyarakat karena menggunakan kanal bancassurance, di mana nasabah yang mempunyai uang di bank dialihkan ke unit link tanpa pengetahuan yang cukup dari si nasabah.
"Jadi ada semacam asimetri information, nasabah tidak tahu produk apa sedangkan (pihak) asuransi tahu nasabah punya dana sehingga dibujuk dialihkan ke unit link, itu tanpa penjelasan, transparansi dan sebagainya," paparnya.
Oleh karenanya dia meminta penjualan unit link dihentikan kepada nasabah yang belum punya pengetahuan tentang produk keuangan. Sebab, pada dasarnya mereka datang ke bank tidak bermaksud untuk beli asuransi, melainkan hanya ingin menabung. Tapi pihak asuransi selalu mengiming-imingi bahwa unit link adalah tabungan, padahal bukan sama sekali.
"Narasi besarnya moratorium unit link bagi mereka yang belum paham, seperti minuman keras lah, minuman keras itu kan terlarang untuk anak-anak yang belum dewasa karena berbahaya. Begitupun unit link berbahaya sekali karena itu membutuhkan pengetahuan investasi," jelas Irvan.
3. Sarankan untuk Kalangan Atas
Sebaiknya, lanjut dia, unit link diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan tinggi, punya pengetahuan tentang investasi, dan punya kemampuan untuk menanggung risiko.
Faktanya memang miris karena unit link sebagai produk yang sangat rumit justru dijual kepada masyarakat yang sama sekali tidak tahu produk keuangan, apalagi asuransi. Menurutnya ada unsur kesengajaan kenapa produk asuransi berbasis investasi itu ditawarkan kepada mereka yang minim literasi.
"Itu dijual ke sembarang orang, ke pedagang, pengasong, tukang bubur, tukang ojek, tukang jamu dan sebagainya. Itu kan sangat menyengsarakan," tambahnya. [JP]