KONSUMEN.net | Pemerintah lempar handuk menalangi subsidi BBM atau bahan bakar minyak di tengah kenaikan harga minyak dunia. Presiden Joko Widodo kemungkinan menaikkan harga BBM jenis Pertalite dan solar pada awal September. Kenaikan harga berkisar Rp 2.000-3.000 per liter.
Harga minyak mentah dunia sudah tembus di atas US$ 100 per barel. Angka ini jauh di atas asumsi pemerintah, yang mematok Indonesia Crude Price (ICP) dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2022 US$ 63 per barel. Akibatnya, belanja pemerintah bakal melonjak, defisit bakal menganga.
Baca Juga:
680 Liter Pertalite Diamankan, Sat Reskrim Polres Subulussalam Tangkap Seorang Pria Diduga Lakukan Penyalahgunaan BBM
Berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan, harga wajar untuk Pertalite di bulan Agustus Rp 14.450 per liter atau nyaris dua kali dari harga jual eceran Rp 7.650 per liter. Sedangkan harga wajar untuk solar Rp 13.950, terpaut Rp 8.850 dengan harga ecerannya yang mencapai Rp 5.150 per liter. Pemerintah harus menomboki selisih harga ini.
Persoalan lain yang mendorong kenaikan harga Pertalite dan Solar adalah konsumsinya yang semakin membengkak. Sampai pertengahan Agustus konsumsi Pertalite mencapai 18,73 juta kiloliter atau 81 persen dari kuota tahun ini. Jika dibiarkan, konsumsi Pertalite bisa mencapai 29,07 juta kiloliter, jauh di atas kuota 23,05 juta kiloliter. Begitu juga dengan konsumsi solar.
Subsidi BBM kini sudah mencapai Rp 502 triliun. Di tengah kenaikan harga minyak dunia, jika subsidi tak distop, subsidi bisa tembus Rp 700 triliun untuk dibakar. Tak ada pilihan lain selain pemerintah menahan terus harga BBM. Lebih baik subsidi itu dialihkan jadi bantuan tunai sekaligus untuk bantalan inflasi.
Baca Juga:
Pertamina Patra Niaga Tindak Tegas SPBU Nakal
Pilihan pahit ini untuk menyelamatkan anggaran negara. Jika tekor, pilihan menambah utang bukan niat yang bijak karena hanya menunda beban ke generasi berikutnya. Apalagi jika melihat kondisi keuangan Pertamina yang kian berdarah. Menambah subsidi akan membuat BUMN ini kian kelimpungan karena klaim subsidi kepada pemerintah acap cair terlambat.
Jika melihat keadaan geopolitik, pilihan menyetop subsidi BBM itu sudah bisa ditaksir sejak lama. Invasi Rusia ke Ukraina bakal mempengaruhi pasokan energi dan pangan. Produksi minyak dalam negeri Indonesia sudah tak cukup sehingga harus impor. Indonesia sudah lama menikmati inflasi rendah karena subsidi energi terus ditambah. [JP]