KONSUMEN.net | Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengupayakan percepatan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja agar tidak melebihi batas waktu dua tahun sebagaimana diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi.
Menurut rencana, perbaikan Cipta Kerja akan dilakukan tahun depan setelah disepakati masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional tahun 2022.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Tak hanya itu, UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah disempurnakan menjadi UU Nomor 15/2019 juga akan kembali diperbaiki.
Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) itu diharapkan juga dapat menjadi landasan hukum bagi perbaikan UU di masa depan, termasuk dengan mengatur soal metode omnibus law.
Ketua DPR, Puan Maharani, dalam keterangannya, Selasa (30/11/2021), di Jakarta, mengatakan, DPR menghormati dan siap melaksanakan putusan MK terkait terkait UU Cipta Kerja.
Baca Juga:
Capres Nomor Urut 1 Anies Baswedan: Kaji Ulang Omnibus Law Jika Terpilih
”DPR berkomitmen akan segera menindaklanjuti putusan MK bersama pemerintah sesuai dengan kewenangan konstitusional DPR,” kata Puan.
Tak hanya itu, menurut Puan, DPR juga akan mengupayakan agar perbaikan UU Cipta Kerja masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2022.
Upaya itu dilakukan untuk melaksanakan perintah MK yang memberi tenggat dua tahun kepada pemerintah dan DPR untuk merevisi UU Cipta Kerja.
”Perbaikan UU Cipta Kerja perlu dilakukan dengan cepat dan tidak boleh melebihi batas waktu tersebut agar UU Cipta Kerja tidak menjadi inkonstitusional secara permanen,” ujarnya.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengapresiasi langkah Presiden Jokowi yang memberi jaminan keamanan dan kepastian investasi pada pelaku usaha dan investor dari dalam dan luar negeri.
Jaminan ini penting karena seluruh substansi dalam UU Cipta Kerja tetap berlaku sepenuhnya tanpa ada satu pun pasal yang dibatalkan oleh MK sampai regulasi tersebut direvisi.
”Kami berharap jaminan ini akan menjaga kondusivitas iklim investasi dalam negeri yang mulai berangsur pulih setelah hantaman pandemi Covid-19,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Achmad Baidowi, mengatakan, hal pertama yang akan dilakukan oleh Baleg DPR ialah membahas usulan perubahan UU PPP.
Sebab, putusan MK memerintahkan perbaikan UU Cipta Kerja.
Sementara mekanisme perbaikan suatu undang-undang juga belum diatur di dalam UU PPP.
Dalam UU PPP hanya disebut, tindak lanjut putusan MK dapat dilakukan melalui pengajuan revisi pasal per pasal.
Namun, perbaikan UU tak masuk prioritas, tetapi kumulatif terbuka.
Putusan yang memerintahkan perbaikan atas pembentukan UU (putusan uji formil) juga baru kali ini dikeluarkan oleh MK.
Oleh karena itu, menurut Baidowi, ketentuan ini harus diatur terlebih dulu, termasuk di dalamnya mengenai mekanisme omnibus law.
Menurut rencana, Baleg DPR mengadakan rapat penentuan Prolegnas Prioritas 2022 dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Senin pekan depan.
Pembahasan mengenai tindak lanjut atas putusan MK dalam perbaikan UU Cipta Kerja juga akan dibahas dalam rapat tersebut.
Baidowi menegaskan, DPR merasa telah membentuk UU Cipta Kerja sesuai dengan koridor yang semestinya. Partisipasi masyarakat juga diakomodasi dalam pembentukan UU Cipta Kerja.
Namun, karena MK telah memutuskan perbaikan UU Cipta Kerja, maka putusan itu harus dihormati dan ditindaklanjuti oleh DPR.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Golkar, Firman Subagyo, menambahkan, MK tidak membatalkan satu pasal pun di dalam UU Cipta Kerja.
Namun, UU itu dinilai inkonstitusional, sampai adanya perbaikan yang dilakukan oleh pembuat UU.
Ia menilai salah satu alasannya ialah karena tidak dikenalnya omnibus law dalam PPP.
Menurut Firman, revisi UU No 12/2011 dapat menjadi inisiatif DPR, sedangkan untuk perbaikan UU Cipta Kerja menjadi inisiatif pemerintah.
Kedua perbaikan itu akan dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2022.
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan, MK tidak memerintahkan revisi UU PPP.
Oleh karena itu, ia mempertanyakan logika pembentuk UU yang ingin mendahulukan revisi UU PPP baru memperbaiki UU Cipta Kerja.
”Kesannya jika omnibus law sudah diatur di dalam UU PPP, maka UU Cipta Kerja menjadi konstitusional. Padahal, putusan MK tidak bicara soal omnibus law saja. Itu salah satu aspek saja dari putusan MK,” katanya.
Menurut Charles, jika dicermati lebih dalam, putusan MK menyoroti pembentukan UU Cipta Kerja yang tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
MK salah satunya meminta agar asas keterbukaan dan partisipasi publik dilakukan oleh pembentuk UU dalam perbaikan UU Cipta Kerja.
MK juga menyoroti aspek-aspek formil lainnya dalam pembentukan UU Cipta Kerja, mulai dari perencanaan, penyusunan, bahkan naskah akademik UU tersebut. (JP)