Konsumen.WahanaNews.co | Sejumlah Apartemen Meikarta menuntut pengembalian uang karena tak ada kepastian serah terima unit sejak pembayaran pertama pada 2017 hingga kini.
Megaproyek Meikarta di Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, yang dikembangkan PT Mahkota Sarana Utama (MSU), entitas anak PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK), tengah menjadi sorotan.
Baca Juga:
Buka Layanan di Meikarta, Imigrasi Bekasi Siap Layani 2000 Pemohon Paspor Kolektif Selama Sepekan
Tuntutan tersebut disampaikan oleh sekitar 100 orang yang tergabung dalam Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta (PKPKM) saat berunjuk rasa di depan Gedung MPR/DPR/DPD Senayan, Jakarta Pusat, Senin (5/12/2022).
Terkait kasus ini, Direktur Rumah Umum dan Komersial Kementerian PUPR Fitrah Nur menyarankan para konsumen tersebut untuk segera mengadukan permasalahannya kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
BPSK merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui mediasi. BPKN hadir untuk merespons dinamika dan kebutuhan perlindungan konsumen yang berkembang dengan cepat di masyarakat.
Baca Juga:
Hak 131 Konsumen Meikarta yang ke DPR Terpenuhi
"Sebaiknya konsumen segera mengadukan permasalahan kepada BPSK atau BPKN sehingga bisa ditindaklanjuti. Biasanya kalau terkait permasalahan properti, dalam hal ini apartemen, kedua institusi itu berkonsultasi dengan kami (Kementerian PUPR)," tutur Fitrah melansir dari Kompas.com, Selasa (13/12/2022).
Fitrah merekomendasikan konsumen untuk mengadu kepada BPSK dan BPKN karena keduanya memiliki sejumlah perangkat aturan berupa Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Selain itu, kedua institusi ini akan melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah (pemda) setempat yang mengeluarkan perizinan kepada proyek properti terkait.
"Namun, sampai sekarang belum ada pengaduan resmi terkait kasus Meikarta ini yang sampai ke kami," imbuh Fitrah.
Kendati demikian, Pemerintah menjamin akan melakukan tindakan aktif apabila ada pengaduan kepada Kementerian PUPR dengan menyampaikan dokumen-dokumen resmi, seperti Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan bukti pembayaran lainnya.
Dari dokumen-dokumen ini bisa ditelusuri kronologinya secara jelas dan terang sehingga Pemerintah bisa memfasilitasi untuk dicari jalan keluarnya. Fitrah mengatakan, sebelumnya Kementerian PUPR telah menerima pengaduan sengketa properti antara konsumen dan pengembang. Kebanyakan terkait dengan pengelolaan apartemen.
"Saya ingat, ada satu apartemen di Bandung. Konsumen tidak bisa mendapatkan sertifikat hak milik satuan rumah susun (SHMSR) karena sebagian unit digadaikan oleh pengembangnya," ungkap Fitrah.
Sengketa properti antara konsumen dan pengembang bukan terjadi sekali ini saja. Sebelumnya, tahun 2021 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat terdapat 25 pengembang yang diadukan konsumennya.
Oleh karena itu, Fitrah menegaskan kepada para pihak pemangku kepentingan di sektor properti agar taat dan mengimplementasikan regulasi-regulasi yang sudah ditetapkan. Tak hanya pengembang, juga pemda yang mengeluarkan perizinan proyek properti.
Sekarang sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) 12 Tahun tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta PP Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun.
"Kami selalu menyampaikan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mendorong agar pemda menyiapkan aturan turunannya, seperti pada PP 12 yang menyatakan bahwa pengawasan dari pemasaran harus dilakukan oleh pemda," tegas Fitrah.
Pada beleid itu juga tercantum klausul yang menyatakan bahwa informasi dalam pemasaran harus mengandung poin-poin yang bisa diminta oleh konsumen, seperti legalitas lahan, Perizinan Bangunan Gedung (PBG), dan lain-lain.
"Sehingga, konsumen bisa melihat lokasi proyek properti yang mereka minati, tidak akan tertipu oleh pengembang nakal," tuntas Fitrah. [tum]