WahanaKonsumen.com | Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memuji aksi Presiden Joko Widodo yang memerintahkan penurunan tarif Polymerase Chain Reaction (PCR) jadi Rp 300.000, dengan masa berlaku hasilnya 3 x 24 jam.
Sebelumnya, tarif tes PCR menyentuh angka Rp 495.000 untuk Pulau Jawa dan Bali, sedangkan luar Jawa dan Bali Rp 525.000 dengan masa berlaku 2 x 24 jam.
Baca Juga:
Menko Luhut Bongkar Modus Pelanggaran “PeduliLindungi”
“Dengan segala plus minusnya, putusan tersebut patut diapresiasi karena setidaknya Presiden telah mendengarkan aspirasi publik atas mahalnya biaya tes PCR,” kata Ketua YLKI, Tulus Abadi, Selasa (26/10).
Meski mengapresiasi, YLKI mengkritisi transparansi pemerintah. Menurutnya, hingga saat ini pemerintah belum transparan terkait rincian struktur biaya tes PCR.
“Berapa sesungguhnya struktur biaya PCR dan berapa persen margin profit yang diperoleh oleh pihak provider? Ini masih tanda tanya besar,” ucapnya.
Baca Juga:
Ini Caranya Pekerja Tanpa Slip Gaji Bisa Beli Rumah Lewat BP Tapera
Tulus menambahkan, keputusan pemerintah menurunkan tarif tes PCR harus diikuti dengan pengawasan. Sebab, banyak sekali provider yang menetapkan tarif tes PCR melebihi harga eceran tertinggi (HET) dengan beragam alasan.
Misalnya alasan PCR Ekspress dengan tarif bervariasi, mulai dari Rp 650.000, Rp 750.000, Rp 900.000, hingga Rp 1,5 juta.
“Selain itu, pemerintah juga harus menurunkan masa uji lab, yang semula 1×24 jam; bisa diturunkan menjadi maksimal 1x12 jam; guna menghindari pihak provider/lab, mengulur waktu hasil uji lab tersebut,” sambungnya.
Tulus juga menanggapi wacana semua moda transportasi akan dikenakan wajib tes PCR. Menurutnya, kebijakan tersebut bisa dilakukan jika tarif tes PCR diturunkan lebih signifikan, misalnya menjadi Rp 100.000.
Jika tarif tes PCR masih Rp300.000, maka akan memberatkan pengguna transportasi darat seperti bus.
“Mana mungkin penumpang bus suruh membayar PCR yang tarifnya lebih tinggi daripada tarif busnya itu sendiri? Dan untuk pengguna kendaraan pribadi bagaimana pengendaliannya? Selama ini tak ada pengendalian kendaraan pribadi, baik roda empat dan atau roda dua. Jika tak ada pengendalian yang konsisten dan setara, ini hal yang diskriminatif,” ujarnya.
Tulus menyarankan tidak semua moda transportasi harus dikenakan PCR atau swab antigen karena akan menyulitkan pengawasannya. Dia mendorong pemerintah mengembalikan tes PCR untuk keperluan skrining kesehatan.
“Karena toh sekarang sudah banyak warga yang divaksinasi,” pungkasnya. [As]