KONSUMEN.net | Kepala Badan Kebijakan Perdagangan (BKPerdag) Kementerian Perdagangan Kasan mengatakan, para pelaku usaha sektor besi dan baja Indonesia perlu mengantisipasi pemberlakuan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM).
CBAM adalah pengurangan emisi karbon dengan menambah tarif atau pajak bea masuk terhadap barang impor ke Uni Eropa (UE). CBAM akan mulai diberlakukan pada 2026 terhadap lima produk utama, termasuk besi dan baja sebagai salah satu produk unggulan Indonesia di pasar UE.
Baca Juga:
Bebas Tuduhan BMAD dan CVD ke AS, Ekspor Aluminium Ekstrusi Indonesia Berpeluang Kembali Melonjak
Demikian diungkapkannya dalam diskusi Gambir Trade Talk (GTT) #7 yang digelar secara hibrida di Hotel Borobudur, Jakarta, kemarin, Rabu (24/8). Diskusi menyorot tema "Nasib Besi dan Baja Akibat Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM)".
"Pemberlakuan CBAM menjadi tantangan Indonesia dalam perdagangan internasional, khususnya di sektor besi dan baja. Dengan antisipasi sejak dini diharapkan besi dan baja sebagai produk potensial Indonesia tetap tumbuh ekspornya, baik di pasar UE maupun pasar lain di dunia dengan mempertimbangkan isu pengurangan emisi karbon," urai Kasan.
Pemberlakuan CBAM akan dimulai pada 2023-2025 dengan pelaporan jumlah emisi yang terkandung dalam produk tanpa pembayaran pajak karbonnya. Sementara, mulai 2026, akan dilakukan pembayaran pajak secara menyeluruh.
Baca Juga:
Tingkatkan Kualitas dan Keterserapan Garam Rakyat, Kemenperin Kembali Fasilitasi MoU Petambak Garam-Industri
Pada fase pertama, jenis produk yang diberlakukan CBAM yaitu aluminium, besi dan baja, semen, pupuk, dan energi listrik. Di fase kedua, akan berpotensi dikembangkan untuk produk lain yang diduga menghasilkan emisi karbon dari UE dan non-UE.
Kasan menambahkan, pada 2019 dan 2020, Tiongkok, Rusia, dan Turki merupakan pemasok terbesar ke UE untuk produk besi dan baja, semen, energi listrik, pupuk, dan alumunium. Ketiga negara tersebut akan terkena dampak terbesar dari CBAM.
Adapun Indonesia menempati peringkat ke-51 sebagai negara asal impor produk CBAM UE pada 2020. Lebih lanjut, produk besi dan baja memiliki pangsa ekspor paling tinggi jika dibandingkan dengan empat produk lainnya.
Pada 2019, pangsa ekspor besi dan baja Indonesia ke UE tercatat 10,7 persen dari total pangsa ekspor besi dan baja Indonesia ke dunia. Persentase tersebut menurun pada 2020 dengan pangsa ekspor 7,9 persen dari total ekspor besi dan baja Indonesia ke dunia.
Kasan menuturkan, seiring dengan upaya peningkatan ekspor Indonesia terutama besi dan baja ke negara-negara UE, perlu dilakukan identifikasi hambatan perdagangan, baik yang bersifat tarif maupun nontarif, termasuk CBAM. Indonesia diproyeksikan mengalami penurunan ekspor besi baja Indonesia terkait penerapan CBAM oleh negara-negara UE.
Oleh karena itu, Kementerian Perdagangan telah melayangkan protes keras kepada Komisi Eropa melalui surat Menteri Perdagangan pada 14 Januari 2022 silam.
"Kementerian Perdagangan berkomitmen untuk terus mendukung akses pasar produk asal Indonesia ke negara mitra unggulan. Salah satunya dengan memberikan gambaran kepada pelaku usaha akan dampak CBAM terhadap industri besi dan baja," pungkas Kasan.
Hadir sebagai narasumber Direktur Jenderal Pengendalian dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dewanthi, salah satu pendiri Jagat.io Barry Beagen, partner pendiri Bundjamin and Partner Erry Bundjamin, serta Director of Corporate Affair PT Gunung Raja Paksi Fedaus. Diskusi GTT #7 dihadiri kurang lebih 400 peserta secara hibrida. [JP]