Apalagi belakangan, baik di daerah maupun di perkotaan, tren penjualan tembakau tingwe cukup marak.
Polemik Pasal 154 RUU Kesehatan yang menyamakan tembakau dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol akan mematikan usaha kecil.
Baca Juga:
Jokowi Harap RUU Kesehatan Bisa Perbaiki Reformasi di Bidang Pelayanan
"Harapan kami pemerintah bisa melihat usaha-usaha kecil, mikro pertembakauan yang sedang tumbuh. Kami tidak tahu harus menyampaikan suara keluh kesah kami ke mana terkait regulasi yang menindas ini," ujar Bahrul.
Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono mengatakan, informasi yang menyesatkan terkait ekosistem pertembakauan telah terjadi sejak lama. Kampanye hitam dan intervensi asing yang terus menerus ditujukan untuk melarang total tembakau semakin masif.
"Dan, saat ini, lagi-lagi, ekosistem pertembakauan dihambat lewat regulasi. Salah satunya melalui Pasal 154 hingga Pasal 158 dan Pasal 457 di RUU Kesehatan," tambahnya.
Baca Juga:
Jokowi Harap RUU Kesehatan Dapat Reformasi Pelayanan Kesehatan di Indonesia
Masa depan ekosistem pertembakauan semakin terancam dengan keberadaan regulasi eksesif dan diskriminatif, seperti dalam pasal-pasal mengenai Pengamanan Zat Adiktif dalam RUU Kesehatan.
Menyamakan tembakau dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol sebut Hananto, sama saja dengan upaya mendorong ilegalisasi mata pencaharian enam juta orang yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem pertembakauan.
"Perekonomian masyarakat dan daerah turut bergerak. Pembangunan infrastruktur bahkan kesehatan disumbang dari tembakau. Tembakau adalah komoditas andalan ketika tidak ada tanaman yang bisa tumbuh di musim kemarau. Maka, tidak adil memposisikan tembakau sama dengan barang ilegal. Ini tidak boleh terjadi!," tegas Hananto.[zbr]