Pasokan yang ketat telah mendorong harga solar Asia untuk benchmark 10 ppm gasoil ke level tertinggi sejak September 2014.
Untuk menghentikan lonjakan harga diesel dan bahan bakar lainnya, produksi harus ditingkatkan. Masalahnya, meningkatkan kapasitas penyulingan untuk menghasilkan solar tidaklah mudah. Produksi bahan bakar fosil saat ini melawan gerakan transisi energi. Hal ini juga berdampak pada dana investor yang mengalir untuk produksi semakin turun.
Baca Juga:
OPEC+ Sepakat Pangkas Biaya Produksi, Harga Minyak Dunia Naik Lagi?
"Mengingat tekanan dari investor untuk mengurangi investasi dalam bahan bakar fosil, latar belakang ini kemungkinan mengurangi insentif untuk berinvestasi dalam kapasitas penyulingan baru," kata Giovanni Staunovo, analis UBS.
Giovanni menilai harga bahan bakar fosil ke depan akan sangat volatil. Sebab, permintaan bahan bakar kemungkinan akan meningkat dalam 10 hingga 15 tahun ke depan, namun di sisi lain pasokan tidak bisa mengimbangi.
Tingginya harga diesel global akibat pasokan yang mulai langka bisa menekan cadangan devisa Indonesia. Ini karena Indonesia masih kecanduan impor bahan bakar minyak, meskipun spesifik impor diesel relatif menurun sejak beberapa tahun terakhir ini. Selain itu, harga diesel pun bisa saja naik mengikuti harga dunia dan berdampak pada harga logistik darat dan transportasi yang meningkat.
Baca Juga:
Jokowi Pikir-pikir Beli Minyak Rusia, Lebih Banyak Untung atau Ruginya?
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) neraca dagang hasil minyak Indonesia sepanjang tahun 2021 tercatat defisit US$ 12.89 miliar. Nilai impor hasil minyak sebesar US$ 14,39 miliar, sementara ekspor tercatat US$ 1,99 miliar.
Untuk impor bahan bakar diesel berupa High Speed Diesel (HSD) pada 2021 tercatat US$ 2,12 miliar, melonjak 36% dari US$ 1,56 miliar pada 2020. Dari sisi volume, impor diesel pada 2021 tercatat 3,76 juta ton, turun 11% dibandingkan 2020.
Nilai impor diesel yang melonjak di tengah volume impor yang turun menjadi indikasi harga diesel dunia yang melonjak. [tum]