WALINKI.ID | Masa kini, kita mempunyai prakirawan cuaca di BMKG yang menganalisis dan membagikan potensi cuaca besok.
Pekerjaan para prakirawan cuaca didukung oleh alat-alat canggih seperti pendeteksi petir, radar cuaca dan lain-lain.
Baca Juga:
BMKG Perkirakan Mayoritas Wilayah Jakarta Akan Turun Hujan Selasa Siang
Tanpa adanya alat-alat canggih tersebut, bagaimana orang zaman dahulu membuat prakiraan cuaca?
Membaca langit
Seni prakiraan cuaca telah dimulai sejak peradaban awal menggunakan kejadian-kejadian astronomis dan meteorologis yang berulang.
Baca Juga:
BMKG Minta Warga Jabodetabek Waspada, Curah Hujan Masih Tinggi hingga 11 Maret
Pada tahun 650 Sebelum Masehi (SM), orang-orang Babilonia mencoba memprediksikan perubahan cuaca jangka pendek berdasarkan penampakan awan dan fenomena optis seperti halo matahari, serta simbol-simbol astrologi.
Kemudian pada 340 SM, filsuf Aristoteles menulis Meteorologica berjumlah empat volume yang berisi teori-teorinya mengenai cuaca dan iklim. Beberapa dari teori ini ada yang benar, misalnya tentang siklus hidrologik Bumi; namun ada banyak juga yang salah.
Meski demikian, selama 2000 tahun lamanya, keempat volume Meteorologica ini dijadikan panduan prakiraan cuaca oleh orang zaman dahulu.