Pada Kamis, 12 Oktober 2023, PLN melakukan sidang. Saat itu SL mengajukan laporan keberatan tapi ditolak oleh PLN. SL dituding melanggar penertiban pemakaian tenaga listrik atau P2TL golongan P2, yakni pelanggaran yang mempengaruhi pengukuran energi. Akibatnya SL harus membayar denda sebesar Rp 33 juta.
Menurut Agus Sujatno, sebelum konsumen dijatuhi sanksi seharusnya PLN memberikan bukti konkret berupa rincian angka yang dibebankan. “PLN harusnya punya mekanisme untuk memberikan peringatan sesegera mungkin ke konsumen ketika ditemukan ada kejanggalan dalam tagihan,” kata Agus.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Dengan begitu, permasalahan dapat dideteksi sejak awal. Masyarakat juga bisa mengantisipasi tagihan susulan yang berjumlah besar. “Hal ini juga menghindari dugaan dari konsumen bahwa ada kesengajaan menjebak tagihan menumpuk dengan melakukan pembiaran,” ujar Agus.
Agus berharap PLN dapat memberikan ruang pendapat bagi konsumen, termasuk transparan dalam melihat bukti-bukti yang diajukan konsumen.
Hal itu untuk menghindari asas praduga tak bersalah sebelum menjatuhkan sanksi kepada konsumen. Dalam konteks ini, kasus SL yang tiba-tiba diberi denda sebesar Rp 33 juta, termasuk pemutusan aliran listrik di rumahnya karena belum membayar denda tersebut.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Ketua YLKI Tulus Abadi juga mengatakan PLN harusnya memberikan sosialisasi yang lebih masif.
“Agar masyarakat atau konsumen tidak mengubah segel kWh meteran dengan cara apapun dan oleh pihak manapun, kecuali petugas resmi PLN,” ujar Tulus pada Minggu (15/10/23).
Dengan begitu, kata Agus, konsumen tidak akan kena tagihan atau denda susulan.