WahanaNews-Advokat | Perppu Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022 disoroti oleh berbagai kalangan, salah satunya Advokat. Advokat dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan, Johan Imanuel menyayangkan Klaster Ketenagakerjaan dalam Perppu Cipta Kerja belum komprehensif.
"Adapun beberapa alasannya, pertama, kalau kita baca Pasal 77 dan Pasal 79 Perppu Cipta Kerja seolah menjadi ada standar ganda pengaturan ketentuan istirahat, kenapa gak digabung aja dalam satu ketentuan (Pasal)", ujar Johan.
Baca Juga:
Gubernur Sumbar Ajak ASN Sosialisasikan Pentingnya Hak Suara Pemilu 2024
Kedua, ketentuan terkait istirahat dalam Klaster Ketenagakerjaan ini juga harus mengatur Cuti Bersama yang selama ini hanya dirumuskan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri "SKB ini kan secara bentuk (kenvorm) bukan peraturan perundang-undangan sehingga rumusannya tidak bisa mengatur tetapi ini kok SKB itu malah mengatur Cuti Bersama seharunya diatur dalam Undang-Undang".
“Banyak perusahaan yang mengatur secara opsional kepada pekerja untuk dapat mengajukan cuti atau tidak mengajukan cuti sesuai dengan tanggal yang dijadikan cuti bersama oleh pemerintah melalui surat edaran. Namun ada pula perusahaan yang mengatur cuti bersama yang pekerja mau tidak mau harus mengajukan sehingga mengurangi jumlah cuti tahunan.”
“Ada juga perusahaan yang menerapkan tidak semua tanggal yang menjadi cuti bersama diperhitungkan dengan mengurangi cuti tahunan, melainkan ada beberapa tanggal dalam cuti bersama tersebut menjadi cuti gratis atau tidak mengurangi jumlah cuti tahunan”.
Baca Juga:
Menteri ATR/BPN Serahkan 63 Sertifikat PTSL Door to Door di Balikpapan
Johan berharap jenis cuti lainnya diatur dalam ketentuan di Klaster Ketenagakerjaan.
"Nah, pemerintah ayo dong mengatur definisi dari jenis cuti yang sering dilaksanakan dalam hubungan kerja pada bagian Ketentuan Umum, sehingga sama persepsi antara pihak perusahaan dan pekerja dan menghindari timbulnya definisi baru dari masing-masing."
"Misalkan definisi cuti bersama, apakah akan mengurangi cuti tahunan atau tidak, maka harus ditegaskan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, bukan dalam edaran yang bukan merupakan peraturan perundang-undangan”. tutup Johan.[zbr]