Wahanadvokat.com | Syarat presidential threshold (PT) sebesar 20% dalam sistem Pemilihan Presiden di Indonesia merupakan sesuatu yang membingungkan.
Hal itu diungkapkan anggota MPR RI Kelompok DPD dapil Bengkulu H. Ahmad Kanedi.
Baca Juga:
Sebut Sebagai Kewajiban Negara, Mahfud MD: Bansos Bukan Bantuan Pemerintah
Ia menyatakan persyaratan tersebut itu tidak sesuai dengan perintah konstitusi.
Kanedi mengutarakan penetapan presidential threshold ditentang para ahli tata negara dan kalangan perguruan tinggi.
Ia mengatakan syarat ambang batas calon presiden juga tidak ditemukan dalam praktik ketatanegaraan di negara manapun di dunia.
Baca Juga:
Soal Perkara Anwar Usman, Ketua MA Ingatkan Hakim PTUN Jakarta
"Saya sudah berkeliling di berbagai kampus, hasilnya tidak ada satupun yang setuju dengan presidential threshold yang dipraktikkan dalam sistem pemilihan presiden di Indonesia," ujar Kanedi dalam keterangannya, Minggu (20/2/2021).
Hal itu disampaikannya saat menjadi narasumber pada Seminar Pustaka Akademik, kerja sama MPR RI dengan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UNIB) dengan tema 'Presidential Threshold Dalam Perspektif Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945', Sabtu (19/2/2022).
Kanedi mengungkapkan ia kerap mendapat pertanyaan mengapa ketentuan ambang batas pencalonan presiden itu masih digunakan saat berkung ke berbagai kampus. Sebab, kata dia, ketentuan itu jelas-jelas tidak sesuai dengan amanat konstitusi.
Adapun syarat pencalonan presiden sesuai ketentuan konstitusi adalah Warga Negara Indonesia, tidak pernah menerima kewarganegaraan negara lain, tidak pernah berkhianat dan tidak melakukan tindak korupsi atau tindak pidana berat lainnya. Selain itu, presiden dan wakilnya dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
"Ini adalah penyimpangan yang terjadi dalam praktik politik dan harus kita sadari bersama. Meski menyatakan dirinya sebagai negara hukum, nyatanya belum semua aturan main dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengikuti aturan hukum yang ada. Sebagian merupakan hasil dari kesepakatan politik oleh para elite partai politik," papar Kanedi.
Pernyataan senada disampaikan pakar Hukum Tata Negara UNIB Dr. Ardilafiza yang mengatakan sepengetahuannya seluruh perguruan tinggi menolak berlakunya presidential threshold. Sebab, kebijakan tersebut adalah inkonstitusional.
"Mestinya ambang batas itu digunakan untuk menentukan pemenang, jadi besarnya 50% plus satu. Jika dalam pilpres belum ada yang mencapai ambang batas tersebut, maka dilakukan pemilihan kedua," ujarnya.
"Tetapi, bukan menggunakan ambang batas untuk menentukan calon presiden. Silakan semua calon, ikut dalam kontestasi, pemenangnya adalah dia yang dapat 50% plus satu," terang Ardilafiza.
Ardilafiza menyampaikan kekhawatirannya terkait pemilu serentak yang akan digelar pada 2024. menurutnya, rencana tersebut sangat membahayakan. Hal itu lantaran pada akhir periode 2024-2029 semua pejabat negara harus meletakkan jabatannya pada waktu yang bersamaan.
"Apa jadinya jika pada saatnya pemilu gagal dilaksanakan, sementara semua pejabat negara selesai waktu jabatannya. Ini juga harus menjadi pertimbangan. Negara tidak hanya dibahas dari sisi efisiensi saja, sehingga dilakukan pemilu secara serentak," cetus Ardilafiza.
Sebagai informasi, sebelum seminar berlangsung, dilakukan penandatanganan PKS antara perpustakaan MPR RI dan perpustakaan Fakultas Hukum UNIB. Turut hadir pada acara tersebut Wakil Rektor UNIB Bidang Kemahasiswaan Dr. Chandra Irawan, Dekan Fakultas Hukum UNIB Dr. Amancik, serta Koordinator Bidang Perpustakaan MPR RI Yusniar. [tum]