Wahanaadvokat.com | Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK) menyusun naskah akademik untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Perikatan demi pembaruan hukum di Indonesia mengingat KUH Perdata tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
“Naskah akademik RUU Perikatan yang disusun oleh Tim APHK masuk tahap finalisasi. Penyusunan naskah dikoordinasi oleh Prof. Joni Emirzon dari Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya,” kata Ketua APHK Prof. Yohanes Sogar Simamora pada acara diskusi virtual yang diikuti di Jakarta, Sabtu, melansir dari Antara.
Baca Juga:
IPDN-Kemendagri Serahkan 58 Sertifikat Lulusan Program Studi Pendidikan Profesi Kepamongprajaan Angkatan XI dan XII
Ia menjelaskan naskah akademik itu merupakan agenda utama APHK karena saat ini sumber hukum keperdataan di Indonesia hanya Buku III KUH Perdata.
Sementara, KUH Perdata yang saat ini berlaku merupakan peninggalan Hindia Belanda yang usianya lebih dari 180 tahun.
Oleh karena itu, APHK menilai perlunya pembaruan hukum demi memenuhi kebutuhan masyarakat terutama dalam urusan perikatan.
Baca Juga:
FLS2N 2024 di Samosir: Ajang Pembuktian Multitalenta Siswa di Luar Dunia Akademik
“APHK mengusulkan dibuat dan diundangkan suatu undang-undang khusus tentang perikatan. Hukum kontrak jadi salah satu bagian penting yang (akan) diatur di dalamnya,” terang Ketua APHK.
Menurut dia, pembaruan itu, jika nantinya terwujud, diharapkan dapat membentuk tatanan hukum baru yang sesuai dengan cita-cita bangsa dan Pancasila sebagai dasar negara dan sumber dari semua produk hukum di Indonesia.
Dalam acara itu, ia menyampaikan susunan naskah akademik RUU Perikatan terdiri atas 6 bab, yaitu BAB I Pendahuluan, BAB II Kajian Teoretis dan Praktik Empiris, BAB III Evaluasi dan Analisis Perundang-Undangan, BAB IV Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis, BAB V Jangkauan Arah Pengaturan dan Ruang Lingkup Materi, serta BAB VI Penutup.
Proses penyusunan naskah itu, Sogar menerangkan pihaknya melakukan studi banding ke beberapa negara, antara lain Belanda, Jerman, Perancis, dan Jepang.
Ada satu perbedaan yang menjadi perhatian APHK, negara-negara tersebut tidak lagi mengatur sumber perikatan, sementara hukum di Indonesia masih mengatur itu sebagaimana tercantum dalam Pasal 123 KUH Perdata.
Ia lanjut menjelaskan pembaruan KUH Perdata di Indonesia lebih realistis dilakukan secara bertahap dan sebagian. Dengan demikian, ia tidak setuju jika pembaruan itu dilakukan lewat kodifikasi ulang KUH Perdata.
Dalam acara yang sama, Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Anangga W. Roosdiono mengusulkan perlunya membuat aturan lebih detail soal penyelesaian sengketa dan alas-alas hukumnya.
Ia menilai aturan yang lebih spesifik dibutuhkan demi membuat proses penyelesaian sengketa di pengadilan berjalan lebih efektif. [tum]