WahanaAdvokat.com | Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memberikan pertimbangan atas pemberian amnesti kepada dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Saiful Mahdi.
Saiful ditetapkan tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Baca Juga:
Pengacara Razman Arif Nasution Laporkan Nikita Mirzani atas Pelanggaran UU ITE
Kasusnya berawal dari kritik atas proses penerimaan CPNS untuk posisi dosen di Fakultas Teknik, pada Maret 2019, melalui grup WhatsApp.
Ia divonis tiga bulan penjara dan telah menjalani hukuman sejak 2 September 2021.
Persetujuan atas pemberian amnesti dari Presiden Joko Widodo dibacakan oleh Wakil Ketua DPR, Muhaimin Iskandar, dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/10/2021).
Baca Juga:
Penyebar Video Syur AD Ditangkap, Motifnya Dendam dan Sakit Hati
DPR telah menerima surat dari Presiden Jokowi pada 29 September 2021 terkait permintaan pertimbangan atas pemberian amnesti.
Setelah amnesti disetujui, DPR akan mengirimkan jawaban tertulis kepada Presiden Jokowi.
Fenomena Gunung Es
Kasus Saiful Mahdi dinilai sebagai fenomena gunung es.
Hal tersebut disampaikan anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hamid Noor Yasin, saat menyampaikan interupsi dalam Rapat Paripurna.
Menurut dia, banyak kasus serupa yang terjadi karena implementasi UU ITE.
"Kasus yang menjerat Saudara Saiful Mahdi merupakan fenomena gunung es di Indonesia yang diakibatkan kelemahan dalam Undang-Undang ITE, baik substansi normanya maupun penerapannya," kata Hamid.
"Masih banyak kasus semacam Saiful Mahdi lainnya yang sedang maupun telah dipidana akibat pemberlakuan Undang-Undang ITE," ucapnya.
Ia mengatakan, Fraksi PKS berpendapat bahwa surat keputusan bersama (SKB) tentang pedoman implementasi UU ITE tak cukup mengurani dampak overkriminalisasi.
Menurutnya, overkriminalisasi dari UU ITE bukan semata disebabkan oleh kesalahan dalam penerapan UU.
"Namun juga berakar pada kelemahan substansial dalam perumusan norma atau delik dalam sejumlah pasal-pasal dalam Undang-Undang ITE yang dalam penerapannya bertentangan dengan semangat kebebasan sipil dan demokrasi," ujar Hamid.
Ia berharap, pimpinan DPR segera memproses tahapan penyusunan dan pembahasan revisi UU ITE agar tidak ada lagi kasus seperti yang dialami Saiful Mahdi.
Ia mengatakan, kebebasan sipil sebagai pilar demokrasi harus ditegakkan, kebebasan dalam mimbar akademik harus dilindungi.
Selain itu, kebebasan dalam menyampaikan kritik dan pendapat di ruang publik harus dipulihkan.
Urgensi Revisi UU ITE
Secara terpisah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Aceh, Syahrul Putra Mutia, mengatakan, pihaknya masih harus memastikan pemberian amnesti itu segera terlaksana.
"Saat ini, kita masih harus memastikan keputusan presiden untuk menetapkan amnesti terhadap Pak Saiful bisa keluar (terlaksana) secepatnya," ujar Syahrul, saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (7/10/2021).
Menurutnya, pemberian amnesti itu menjadi pendidikan publik yang sangat penting.
Amnesti itu menegaskan bahwa kritik bukanlah hal yang dilarang.
Syahrul mengatakan, keluarga Saiful mengucapkan terima kasih atas semua dukungan yang diberikan hingga DPR mengabulkan amnesti dari Presiden.
"Keluarga Pak Saiful, terutama istri dan anaknya, berterima kasih banyak untuk seluruh elemen sipil, CSO (civil society organization), jurnalis dan media, akademisi dan seluruh yang terlibat dalam advokasi ini," tutur Syahrul.
"Ini adalah kemenangan kita semua, karena yang sedang kita perjuangkan bukanlah semata tentang Saiful Mahdi, melainkan hak kebebasan individu yang melekat," kata dia.
Syahrul menuturkan, kasus Saiful Mahdi merupakan pelajaran penting bagi semua pihak untuk menyamakan persepsi terkait pasal-pasal karet dalam UU ITE.
Menurut dia, pasal-pasal tersebut rentan digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat.
"Maka publik, semua elemen sipil, harus terus mendorong agar UU ITE ini bisa segera direvisi," kata Syahrul.
Sebelumnya, kasus serupa juga pernah dialami oleh Baiq Nuril Maknun pada 2019.
Nuril dinyatakan bersalah karena dituduh merekam dan menyebarkan percakapan asusila mantan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, Muslim, yang kerap meneleponnya.
Lantaran mempertahankan harga dirinya, Nuril justru dijerat UU ITE.
Presiden Jokowi lalu menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) mengenai pemberian amnesti bagi Nuril pada Senin (29/7/2019).
Dengan Keppres itu, Nuril yang sebelumnya divonis melanggar UU ITE pada tingkat kasasi, bebas dari jerat hukum.[dny]