WahanaAdvokat.com | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengagendakan pemeriksaan terhadap mantan Komisaris PT Sandipala Arthaputra, Harry Sapto Soepoyo, pada Kamis (7/10/2021).
Dia akan diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi terkait perkara dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP).
Baca Juga:
Setyo Budiyanto Terpilih sebagai Ketua KPK: OTT Tetap Senjata Utama
“Yang bersangkutan dipanggil sebagai saksi,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK, Ali Fikri, dalam keterangannya, Kamis (7/10/2021).
Harry akan diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
Keterangannya dibutuhkan untuk mendalami dugaan rasuah yang menjerat Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, Paulus Tannos, yang telah menyandang tersangka dalam perkara ini.
Baca Juga:
Lima Pimpinan Baru KPK Ditetapkan, Setyo Budiyanto Jadi Ketua
KPK sebelumnya mengakui kesulitan dalam mendalami proses hukum tersangka Paulus Tannos, karena dia berada di Singapura.
KPK juga menyebut penahanan Tannos akan sulit.
Hal ini dikarenakan tidak ada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura.
“Apa enggak bisa dilakukan upaya paksa penahanan? tentu kita tidak punya perjanjian ekstradisi kan dengan Singapura,” ucap Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, Jumat (1/10/2021).
Paulus Tannos bersama tiga orang lainnya pada 13 Agustus 2019 telah diumumkan sebagai tersangka baru dalam pengembangan kasus korupsi e-KTP.
Tiga tersangka lain dalam perkara e-KTP itu yakni mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) Isnu Edhi Wijaya, Anggota DPR RI 2014-2019 Miriam S Hariyani, dan mantan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP, Husni Fahmi.
Dalam konstruksi perkara, KPK menduga Paulus Tannos melakukan pertemuan dengan Andi Agustinus, Johanes Marliem, dan tersangka Isnu Edhi Wijaya untuk membahas pemenangan konsorsium PNRI dan menyepakati fee sebesar 5 persen sekaligus skema pembagian beban fee yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR RI dan pejabat pada Kemendagri.
KPK menduga, PT Sandipala Arthaputra diduga diperkaya Rp 145,85 miliar terkait proyek e-KTP.
Akibatnya, negara dirugikan sebesar Rp 2,3 triliun.
Sehingga harga barang-barang yang diperlukan dalam pelaksanaan proyek, yakni selisih dari total pembayaran kepada konsorsium PNRI sebesar Rp 4,92 triliun dengan harga wajar atau harga riil pelaksanaan proyek e-KTP 2011-2012 sejumlah Rp 2,6 triliun.
Empat orang itu disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. [dny]