WahanaAdvokat.com | Dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Saiful Mahdi, berharap pasal-pasal karet yang ada di UU ITE segera direvisi agar tidak ada lagi korban yang berjatuhan akibat kesalahan penerapan pasal tersebut.
"Dalam syukur dan terima kasih, saya berharap UU ITE Bisa direvisi dan pasal karet dihilangkan," kata Saiful lewat layanan kunjungan virtual Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banda Aceh, Sabtu, (9/10/2021).
Baca Juga:
Pengacara Razman Arif Nasution Laporkan Nikita Mirzani atas Pelanggaran UU ITE
Ia juga menyempatkan mengucap terima kasih kepada Presiden Joko Widodo yang telah memberikannya amnesti.
Dia juga mengucapkan terima kasih kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Mahfud MD, serta DPR yang telah menyetujui pemberian amnesti kepadanya.
"Saya bersyukur kepada yang Maha Kuasa dan terima kasih pada Presiden Presiden Jokowi," katanya.
Baca Juga:
Penyebar Video Syur AD Ditangkap, Motifnya Dendam dan Sakit Hati
Namun, Saiful mengatakan rasa terima kasihnya terutama ingin dia berikan kepada masyarakat sipil yang mendukungnya dan mengupayakan pemberian amnesti kepadanya.
Dia menyampaikan terima kasih ke Paguyuban Korban UU ITE dan media serta masyarakat sipil lainnya yang telah membantunya selama ini.
"Ini kemenangan kita semua, kemenangan demokrasi, hak asasi manusia, kemenangan akal sehat," kata Saiful.
Duduk Perkara Kasus Saiful Mahdi
Saiful Mahdi merupakan dosen Universitas Syiah Kuala di Aceh. Dia dibui karena kritiknya soal kecurangan pada hasil tes CPNS dosen di Fakultas Teknik USK.
Pada Maret 2019, Saiful yang merupakan dosen jurusan statistika Fakultas MIPA, mengirimkan pesan yang mengkritik hasil tes CPNS bagi dosen Fakultas Teknik di grup WhatsApp “Unsyiah Kita”.
Pada kritikannya, dia menuliskan, “Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin,” dan “Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble?”.
Saiful menulis pesan tersebut untuk menanggapi seleksi pegawai negeri sipil yang diadakan pada akhir tahun 2018 sebagai rekrutmen dosen di fakultas teknik universitas tersebut.
Setelah tes berlangsung, Saiful mendengar adanya dugaan penyimpangan dalam proses seleksi dari seorang dosen fakultas teknik yang telah bekerja di sana selama dua tahun dan mengikuti tes tersebut untuk mendapatkan status PNS.
Dosen tersebut menginformasikan kepada Saiful bahwa seorang peserta ujian yang diduga tidak memenuhi kriteria administratif dapat mengikuti proses seleksi dan kemudian lulus ujian.
Sedangkan dirinya sendiri dinyatakan gagal meski mendapat nilai tertinggi di antara peserta ujian lainnya saat uji kompetensi.
Saiful yang telah bekerja di USK selama 25 tahun, menganalisis nilai-nilai peserta tes dari fakultas teknik dan kemudian menyimpulkan bahwa ada kejanggalan dalam penilaian yang harus dipertanyakan ulang.
Dia kemudian menulis kritik terhadap proses seleksi tersebut di grup WA “Unsyiah Kita” yang beranggotakan sekitar 100 dosen universitas tersebut.
Pesan yang dia tulis kemudian beredar di kalangan karyawan universitas dan akhirnya diketahui oleh dekan fakultas teknik, yang bukan merupakan anggota grup WA itu.
Dekan tersebut melaporkan Saiful Mahdi ke Senat yang kemudian memanggilnya untuk dimintai klarifikasi pada 18 Maret 2019.
Setelah itu, Senat mengirim surat kepada Saiful Mahdi pada 6 Mei 2019, yang menyatakan tidak adanya pelanggaran kode etik dan meminta Saiful untuk menulis surat permintaan maaf kepada jajaran pimpinan fakultas teknik terkait pernyataan yang dia buat.
Namun, Saiful menolak untuk meminta maaf dan mempertanyakan keputusan Senat karena dirinya belum pernah diperiksa dalam sidang etik atas kasus tersebut.
Pada 4 Juli 2019, Saiful dipanggil oleh Kepolisian Resor Kota Banda Aceh sebagai saksi dalam kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh dekan fakultas teknik.
Setelah diperiksa, dia ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE karena diduga mencemarkan nama baik dekan tersebut, meski Saiful Mahdi tidak pernah menyebut nama siapa pun dalam pesan WA-nya.
Kasus tersebut diadili dan pada 21 April 2020, Pengadilan Negeri Banda Aceh menjatuhkan hukuman tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta kepada Saiful.
Saiful mengajukan banding atas putusan tersebut ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh, tapi kemudian ditolak.
Pada 29 Juni 2021, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Saiful dan menguatkan vonis bersalah yang dijatuhkan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Banda Aceh.
Pada 2 September 2021, pihak kejaksaan mengantar Saiful untuk mulai menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banda Aceh.
Tim hukum beserta koalisi masyarakat sipil telah mengirimkan surat resmi kepada Presiden Joko Widodo pada 6 September 2021, yang isinya meminta Presiden untuk memberikan amnesti kepada Saiful.
Menurut hukum di Indonesia, Presiden hanya dapat memberikan amnesti setelah meminta pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pada 21 September 2021, tim hukum beserta beberapa pakar hukum dan istri Saiful, Dian Rubiyanti, juga melakukan pertemuan dengan Menko Polhukam, Mahfud MD, beserta jajarannya, untuk meyakinkan pemerintah bahwa Saiful layak diberikan amnesti, demi keadilan dunia pendidikan.
Pada 29 September 2021, Presiden mengirim Surat Presiden untuk meminta pertimbangan dari DPR.
Saat ini upaya meminta amnesti itu masih menunggu jawaban dan pertimbangan DPR.[dny]