WahanaAdvokat.com | Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menyindir balik anggota DPD RI, Prof Jimly Asshiddiqie.
Pria yang juga menjabat Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB) ini menggunakan kalimat sama yang sebelumnya digunakan Prof Jimly.
Baca Juga:
Dugaan Pemalsuan Dokumen PBB, Yusril Diadukan ke Bareskrim
“Pertanyaan yang sama bisa saja dikemukakan, apa pantas seorang anggota badan legislatif mengomentari sebuah perkara yang sedang diperiksa badan yudikatif?” sindir Yusril dalam keterangannya, Sabtu (2/10/2021).
Prof Jimly, sebelumnya, menyoroti posisi seorang advokat menjadi ketua umum partai politik.
Menurutnya, secara etika kepantasan dan etika bernegara, hal itu sulit diterima, apalagi kemudian mempersoalkan AD/ART partai politik lain.
Baca Juga:
Yusril Ihza Mahendra Mundur dari PBB, Fahri Bachmid Jadi Penjabat Ketum
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu memang tidak menyebut nama Yusril dalam kicauannya di media sosial Twitter.
Namun, dalam kapasitasnya sebagai advokat, Yusril diketahui sedang mengajukan uji formal dan materiel terhadap AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung.
Yusril mewakili empat mantan kader partai berlambang mercy yang sebelumnya dipecat DPP Partai Demokrat di bawah kepengurusan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Yusril juga mempertanyakan, apa pantas Mahkamah Konstitusi (MK) menguji UU MK, di mana lembaga tersebut punya kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan undang-undang dimaksud.
“Prof Jimly (saat menjabat Ketua MK) beberapa kali menguji undang-undang yang justru MK dan hakim MK berkepentingan dengan UU yang diuji itu. Prof Jimly akan menjawab tidak ada undang-undang yang melarang MK menguji UU MK,” kata Yusril.
“Ya memang tidak, tetapi apa pantas? Apa pantas MK memeriksa pengujian undang-undang yang MK berkepentingan dengannya? Berapa banyak itu dilakukan semasa Prof Jimly jadi Ketua MK?” ucap Yusril.
Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ini mengingatkan, dalam hal ini bukan sekadar persoalan etika kepantasan, tetapi berkaitan langsung dengan norma etika fundamental terkait dengan keadilan dan sikap imparsial, serta juga norma hukum positif.
Misalnya, UU Kekuasaan Kehakiman.
“Dalam pengalaman saya, kalau seseorang terpojok dalam debat intelektual dan akademis, biasanya mulai mencari-cari dalil untuk escape,” katanya.
“Jalan paling mudah untuk escape itu ya menuduh pihak lain tidak etis, tidak pantas, kurang elok, yang tidak pernah jelas batasan-batasannya,” tandas Yusril.
Dalam pandangannya, Yusril juga memaparkan bahwa dalam filsafat, norma etik adalah norma fundamental yang melandasi norma-norma lain, termasuk norma hukum.
Sehingga, norma hukum yang bertentangan dengan norma etik seharusnya dianggap sebagai norma yang tidak berlaku.
“Nah, yang dibicarakan Prof Jimly adalah etika kepantasan, soal pantas atau tidak pantas, yang secara filosofis bukan norma fundamental seperti dibahas Immanuel Kant atau Thomas Aquinas dalam Summa Theologia atau dalam tulisan-tulisan Al Ghazali,” katanya.
Menurut Yusril, norma etika kepantasan yang disebut-sebut Prof Jimly tidak lebih dari norma sopan santun yang bersifat relatif dan sama sekali bukan norma fundamental dan absolut sebagaimana dalam norma etik.
Yusril kemudian mencontohkan, ketika ada orang Batak bertamu ke rumah orang Sunda dan dia menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan tuan rumah.
Menurut Yusril, gaya, tata cara, dan tata bersalaman tamu orang Batak itu mungkin tidak sesuai dengan etika kepantasan orang Sunda.
Namun, tamu orang Batak itu bukan orang jahat.
Lain halnya jika tamu itu pulang, sendok garpu tuan rumah dikantongi diam-diam.
“Pencurian adalah pelanggaran norma etika (seperti disebut dalam Ten Commandements dan Mo Limo dalam falsafah Jawa),” jelasnya.
“Soal etika kepantasan yang disebut Prof Jimly bukan hal fundamental. Norma sopan santun itu konvensional, bahkan kadang tergantung selera untuk mengatakan pantas atau tidak pantas,” pungkas Yusril. [dny]