WahanaAdvokat.com | Perkara tanah warisan kerap menjadi kontroversi. Tidak jarang perseteruan pun terjadi antar-keluarga bahkan sampai maju ke meja hijau alias pengadilan.
Penyebabnya karena terdapat pihak yang merasa dirinya merupakan penerima tanah warisan.
Baca Juga:
Sambut Baik Dukungan Aktivis Alumni Mahasiswa Jakarta Raya, Al Haris : Buktikan Kita Solid
Secara umum, perihal pewarisan salah satunya sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP).
Dalam aturan tersebut, pembagian barang terdiri dari dua bentuk. Termaktup dalam Pasal 505 yakni barang bergerak dan barang tak bergerak.
Adapun tanah termasuk dalam barang tak bergerak, yang disertai pula bangunan, rumah, atau hal apapun yang berdiri di atasnya.
Baca Juga:
Aktivis Alumni Mahasiswa Jakarta Raya Dukung Al Haris - Sani di Pilgub Jambi 2024
Sementara itu, soal pewarisan tercantum dalam Bab XII Pewarisan Karena Kematian. Ketentuan ini tidak berlaku bagi golongan timur asing bukan tionghoa. Tetapi berlaku bagi golongan tionghoa.
Pada Bagian Kesatu yakni Ketentuan-ketentuan Umum Pasal 830 menyebutkan bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian.
Artinya peralihan kepemilikan ke ahli waris dapat dilakukan setelah pewaris meninggal dunia.
Kemudian Pasal 832 menerangkan, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah. Baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau istri yang hidup terlama.
Tertulis pula pada Pasal 833 bahwa para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak miik atas semua barang, hak dan piutang dari orang yang meninggal atau pewaris.
Lebih lanjut, secara umum ketentuan ini juga menyiratkan adanya empat golongan ahli waris yang berhak menerima tanah warisan.
Berdasarkan urutan prioritasnya sebagai ahli waris di mata hukum perdata, meliputi:
- Golongan I, merupakan suami atau istri yang hidup terlama dan anak keturunan pewaris
- Golongan II, merupakan orang tua dan saudara kandung dari pewaris
- Golongan III, merupakan keluarga dalam garis lurus ke atas setelah bapak atau ibu pewaris. Seperti kakek dan nenek
- Golongan IV, merupakan paman dan bibi pewaris, baik dari pihak bapak maupun ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat ke enam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat ke enam dihitung dari pewaris.
Selanjutnya menurut Pasal 838 menjelaskan, orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris dan tidak mungkin mendapat warisan meliputi:
- Dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba membunuh orang yang meninggal itu (pewaris)
- Dia yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan tuduhan terhadap pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi
- Dia yang telah menghalangi orang yang telah meninggal itu dengan kekerasan atau perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali wasiatnya
- Dia yang telah menggelapkan. memusnahkan atau memalsukan wasiat orang yang meninggal itu.[dny]