Wahanaadvokat.com | Hukuman mati terhadap pemerkosa santriwati Herry Wirawan (36) dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung.
Penilaian hakim tingkat banding juga selaras dengan putusan hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri Bandung yang menganggap perbuatan Herry Wirawan termasuk kejahatan sangat serius.
Baca Juga:
Kasus Emas Antam, PT Jakarta Perberat Vonis Budi Said Jadi 16 Tahun Penjara
Ketua Majelis Hakim PT Bandung Herri Swantoro dalam dokumen putusannya mengungkap alasan pertimbangan memberi vonis hukuman mati tersebut.
"Bahwa sesuai dengan yang telah dipertimbangkan oleh majelis hakim tingkat pertama, majelis hakim tingkat banding berkeyakinan pula bahwa perbuatan terdakwa tersebut terbukti termasuk dalam kategori kejahatan sangat serius (the most serious crime)," kata Herri dalam putusan, Selasa (5/4/2022).
Selanjutnya, Herri menyatakan dalam hukum internasional, suatu kejahatan dikategorikan sebagai the most serious crime karena tindak pidana itu merupakan perbuatan yang keji dan kejam serta menggoncangkan hati nurani kemanusiaan.
Baca Juga:
Sejumlah Aset Harvey Moeis dari Mobil, Rumah hingga Tas Mewah Dirampas untuk Negara
Dia juga menjelaskan unsur kesengajaan dalam kejahatan sangat serius dilakukan secara sistematis ataupun menimbulkan akibat-akibat serius lainnya. Sehingga, hakim menganggap perbuatan Herry Wirawan sudah memenuhi unsur kejahatan serius.
Unsur kesengajaan yang dimaksud terkait perbuatan terdakwa yakni memanipulasi dan tipu muslihat, iming-iming dan janji.
Selain itu, kekerasan seksual yang dilakukan terdakwa berpotensi membahayakan kesehatan anak-anak perempuan yang masih di bawah umur, perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak hanya menyerang kehormatan fisik anak-anak, melainkan juga berpengaruh terhadap kondisi psikologis dan emosional para santri.
Kemudian, kekerasan seksual oleh terdakwa dilakukan secara terus menerus dan bersifat sistematik. Terdakwa juga menggunakan simbol-simbol agama dan pendidikan sebagai salah satu cara dan upaya manipulatif serta justifikasi dalam mewujudkan niat jahatnya (mens rea) untuk melakukan kejahatan.
Selain itu, perbuatan yang dilakukan terdakwa telah menimbulkan dampak yang luar biasa, yang menimbulkan keresahan dan ketakutan sosial dan anak-anak santriwati berpotensi menjadi korban ganda, karena menjadi korban kekerasan seksual sekaligus menjadi korban demi keuntungan ekonomi dari pelaku, yang dapat menimbulkan dampak sosial dalam berbagai aspek.
"Hal tersebut menunjukkan bahwa kejahatan seksual tersebut merupakan kejahatan yang sangat serius (the most serious crimes)," ujar hakim.
Oleh karena itu, pemberian hukuman mati terhadap Herry Wirawan dilakukan guna memberikan keadilan bagi korban. Di samping itu, ada kekhawatiran bila nantinya Herry Wirawan hanya divonis penjara seumur hidup.
"Suatu hal yang menjadi kekhawatiran terhadap hukuman seumur hidup terhadap praktik pelaksanaan pemidanaannya. Dalam praktik pidana seumur hidup acapkali berubah menjadi hukuman selama waktu tertentu, karena alasan-alasan perubahan sikap dan perilaku terpidana. Bahkan melalui pengurangan hukuman ataupun remisi serta pembebasan bersyarat, berpotensi terpidana menjalani hukuman di bawah 20 (dua puluh) tahun," tutur hakim.
PKS Minta Hukum Herry Wiryawan Berlaku ke Pelaku Lain
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid meminta agar vonis maksimal tersebut juga diberlakukan kepada para pelaku kejahatan seksual lain tanpa pandang bulu yang kasusnya saat ini terus meningkat.
"Maka vonis maksimal seperti ini perlu diberlakukan terhadap para penjahat kekerasan seksual terhadap perempuan atau anak yang kasusnya semakin banyak, semakin meluas, dan tanpa pandang bulu terkait SARA," kata dia dalam keterangannya, Selasa (5/4).
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS itu menilai vonis terhadap Herry telah sesuai ketentuan hukum merujuk Pasal 81 juncto Pasal 76 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah melalui UU Nomor 17 Tahun 2016.
Dia berujar, pelaksanaan instrumen hukum tersebut wajar dijatuhkan, sebagai bentuk konsistensi dan keseriusan aparat menegakkan hukum.
HNW meyakini sekalipun terpidana mengajukan upaya hukum kembali, seperti kasasi atau peninjauan kembali, Mahkamah Agung (MA) tetap menguatkan vonis Pengadilan Tinggi Bandung.
Meski begitu, di sisi lain, dia mendorong negara hadir agar mengambil upaya restorative justice kepada para korban. Terlebih, mayoritas di antara mereka merupakan anak-anak yang perlu melanjutkan sekolah dan memerlukan pemulihan mental. [tum]