Wahanaadvokat.com | Ikhwan Mansyur Situmeang, seorang aparatur sipil negara (ASN) menggugat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Dia menggugat yang berkaitan dengan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden 20 persen.
Baca Juga:
Kanwil Kemenag DIY Imbau Dai Jaga Kerukunan Menjelang Pilkada Serentak 2024
"Saya adalah pemohon warga negara perorangan yang memiliki hak dipilih tetapi berpotensi dirugikan karena presidential threshold," kata Ikhwan Mansyur Situmeang pada sidang perkara Nomor 7/PUU-XX/2022 yang digelar Mahkamah Konstitusi secara virtual di Jakarta, Senin (24/1/2022).
Dalam sidang tersebut, pemohon mengatakan bahwa materi muatan dalam ayat, pasal, atau bagian Undang-Undang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 lebih khususnya Pasal 222 Undang-Undang Pemilu terhadap Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Sebagai seorang warga negara yang memiliki hak untuk memilih dan berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya, pemohon berpendapat problem yang dihadapi ialah mengenai ambang batas pencalonan presiden.
Baca Juga:
Saksi Ganjar-Mahfud Tolak Hasil Pleno KPU Badung terkait Bansos Presiden
Pasal 222 memberlakukan presidential threshold yang justru membatasi jumlah calon presiden.
Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa konstruksi pasal tersebut tidak memiliki konsistensi dengan Pasal 6A.
Sementara itu, dalam Pasal 6A disebutkan bahwa ambang batas pencalonan presiden tanpa angka persen atau terbuka bagi partai politik.
"Jika Pasal 6A dan Pasal 222 disandingkan, maka sama halnya Pasal 222 merusak Pasal 6A UUD 1945," kata Ikhwan Mansyur Situmeang.
Menurut dia, Pasal 222 cenderung memunculkan dua pasangan calon sehingga menciptakan persaingan yang simpel atau menghadirkan pesaing yang lemah.
Tidak hanya itu, koalisi yang muncul akibat presidential threshold dinilainya tidak programatik.
"Koalisi ini juga tidak kompetitif karena membatasi calon presiden tanpa mempertimbangkan hak warga," ujarnya. [tum]