Wahanaadvokat.com | Putusan Mahkamah Agung (MA) mengurangi hukuman pidana penjara mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh.
Baca Juga:
Soal Upah Minimum Sektoral, Presiden Prabowo Arahkan Perumusan Pasca Putusan MK
"Akhirnya saya mengambil konklusi bahwa ini (putusan MA) menjadi preseden yang buruk apalagi ini di level MA yang produknya dianggap sebagai yurisprudensi," kata Pangeran Khairul Saleh dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan, ada beberapa pendekatan untuk menjawab apakah putusan MA tersebut menjadi preseden buruk pemberantasan korupsi. Pertama, penjelasan juru bicara MA yang mengatakan bahwa faktor jasa dari mantan Menteri KKP terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan begitu besar.
Pangeran mempertanyakan, apakah di level MA masih bisa menilai secara judex facti padahal selama ini MA adalah menilai secara judex juris.
Baca Juga:
Melalui Putusan, Hakim Sebut MK Berkontribusi Mendesain Pemilu
"Karena itu menjadi aneh secara hukum hal tersebut menjadi pertimbangan padahal secara tugas dan fungsi siapapun jadi pejabat tentu amanah yang di emban harus menyejahterakan rakyat," ujarnya.
Dia menjelaskan, pendekatan kedua yaitu tindak pidana yang dilakukan dalam kondisi pandemi, semua pihak sempat heboh bagaimana hukum mengatur apabila korupsi dilakukan saat negara dalam keadaan darurat tentu hukumannya semakin berat.
Menurut dia, apakah itu menjadi pertimbangan, sehingga Putusan MA tersebut tidak logis.
Karena itu Pangeran mengatakan, Komisi III DPR akan mempertanyakan kepada MA terkait putusan tersebut dalam konteks pengawasan kinerja kelembagaan.
"Sudah menjadi keharusan setiap lembaga negara di bidang kekuasaan apapun harus dikontrol dan dievaluasi apalagi negara ini menganut paham 'cheeks and balances'," katanya.
Menurut dia, Komisi III DPR memiliki kewenangan untuk mengawasi terhadap kinerja lembaga negara namun tidak menyentuh ke dalam kekuasaan kehakiman yang independen dan merdeka.
Sebelumnya, Mahkamah Agung memutuskan untuk mengurangi hukuman pidana penjara mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo) menjadi 5 tahun penjara dari yang sebelumnya 9 tahun.
"Memperbaiki putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengenai pidana yang dilakukan kepada terdakwa dan lamanya pidana tambahan menjadi: Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Edhy Prabowo dengan penjara selama 5 tahun dengan pidana dena sebesar Rp400 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan," kata juru bicara MA Andi Samsan Nganro di Jakarta, Rabu (9/3).
Putusan kasasi tersebut diputuskan pada 7 Maret 2022 oleh majelis kasasi yang terdiri dari Sofyan Sitompul selaku ketua majelis, Gazalba Saleh dan Sinintha Yuliansih Sibarani masing-masing selaku anggota.
"Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 2 tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok," ungkap Andi.
Terdapat sejumlah hal yang menjadi pertimbangan majelis kasasi sehingga mengurangi vonis Edhy Prabowo tersebut.
"Bahwa putusan Pengadilan Tinggi yang mengubah putusan Pengadilan Negeri kurang mempertimbangkan keadaan yang meringankan terdakwa sehingga perlu diperbaiki dengan alasan bahwa pada faktanya terdakwa sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan RI sudah bekerja dengan baik dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat khususnya nelayan," demikian disebutkan hakim.
Menurut hakim, Edhy Prabowo mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 dan menggantinya dengan Permen Kelautan dan Perikanan No 12/PERMEN-KP/2020. [tum]