Wahanaadvokat.com I Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan bahwa KPK banyak menerima laporan masyarakat terkait penyelewengan dana desa. Namun karena kepala desa bukan pejabat dan penyelenggara negara, maka KPK tidak memiliki kewenangan menindak kecuali penyelewengan melibatkan aparat negara.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut banyak kasus korupsi dana desa karena kepala desa atau lurah hingga perangkatnya lemah secara administrasi.
Baca Juga:
Mantan Kepala Kampung Meosmanggara (YM) Ditetapkan Sebagai Tersangka, Dugaan Penyalahgunaan Dana Desa
Bagi kepala desa atau perangkat yang terkena korupsi atas faktor tersebut, KPK menilai hanya perlu mengembalikan kerugian negara.
"Tapi berdasarkan kewenangan KPK yang diatur di dalam pasal 11 UU KPK kepala desa itu bukan pejabat negara, bukan penyelenggara negara dan itu bukan kewenangan KPK untuk menindak," kata Marwata saat launching Kalurahan Panggungharjo sebagai Desa Antikorupsi di Kampung Mataraman, Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul, Rabu (1/12/2021).
Oleh sebab itu, KPK mengoordinasikan laporan itu dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Kendati demikian, Marwata mengaku tetap bisa menindak kepala desa yang korupsi.
Baca Juga:
Dugaan Penyelewengan DD, Dua Mantan Kades di Pakpak Bharat Diperiksa Kejari Dairi
"Kami berkoordinasi dengan Kemendes supaya laporan-laporan itu ditindaklanjuti paling tidak dilakukan klarifikasi jangan-jangan hanya kepala desa yang kalah terus saling melaporkan," ujarnya.
"Apakah KPK juga menindak kepala desa juga? Iya, kalau ada hubungannya dengan penyelenggara atau aparat penegak hukum. Seperti beberapa bulan lalu saat KPK lakukan OTT Bupati Probolinggo, Jawa Timur itu ada 20-an belum kepala desa baru calon plt kepala desa," lanjut Mawarta.
Di sisi lain, dia mengaku sedih apabila mendengar kabar kepala desa harus berurusan dengan aparat hukum karena kasus penyimpangan atau penyelewengan dana desa. Terlebih kepala desa itu terjerat karena ketidaktahuannya.
"Saya merasa sedih ketika ada kepala desa yang diproses aparat hukum karena ketidaktahuannya. Ketika kami lakukan koordinasi di berbagai daerah dengan aparat penegak hukum rata-rata yang ditangani yaitu kepala desa, menyangkut penyelewengan penyimpangan dana desa, paling gampang itu, apalagi di luar Jawa," katanya.
Menurutnya, untuk menjerat kepala desa yang minim pengetahuannya cukup dengan aparat hukum mendatangi desa dan menanyakan berapa dana desanya. Selanjutnya mempertanyakan pertanggungjawabannya dan mana wujud dari pengeluaran yang sudah dilakukan desa tersebut.
"Rata-rata mereka lemah secara administrasi. Dan banyak yang sebetulnya mereka tidak paham banyak aturan yang mengatur desa itu, pendidikan banyak mungkin yang tidak lulus SD, baca undang-undang tidak pernah apalagi dengan peraturan yang berbelit-belit," ucapnya.
Oleh sebab itu, dia menilai seharusnya pihak terkait memberikan pemahaman atau sosialisasi kepada kepala desa dan perangkatnya. Pasalnya, Mawarta menilai menindak orang yang tidak paham apa salahnya merupakan kesalahan.
"Dan ketika ada penyimpangan aparat hukum datang untuk menindak. Saya bilang kita ikut bersalah lho, kalau kita menindak seseorang yang dia tidak paham apa salahnya. Ya kita didik dulu dong, kita ajari dulu bagaimana mengadministrasikan dengan baik dan bagaimana mengelola dana desa dengan baik," ujarnya.
Untuk itu, dia menyarankan kepada Menteri Desa PDTT untuk selektif menentukan desa yang betul-betul mampu mengelola dana desa. Bahkan, dia memberi saran untuk desa yang tidak mampu mengelola agar mendapatkan pendampingan.
"Karena itu tadi saya bilang ke Menteri Desa apakah harus dana desa tunai? Harusnya ada peta kira-kira mana desa yang siap mengelola dana desa. Kalau tidak siap ya bentuk program yang dibiayai dana desa, pelaksananya orang-orang Pemda," ujarnya.
"Apakah tidak ada penyimpangan? Ya belum tentu, tapi paling nggak dengan program itu jelas wujudnya, ini yang harus dipikirkan ke depan," imbuh Mawarta.
Selain itu, Mawarta juga menyoroti penindakan terhadap kepala desa yang terbukti melakukan penyelewengan dana desa. Mengingat kebanyakan biaya proses hukum lebih besar dari pada kerugian yang ditimbulkan akibat penyelewengan dana desa oleh kepala desa.
"Termasuk juga dalam rangka melakukan penindakan kepala desa, sebetulnya dari jajaran Kejagung dan Polri kan sudah restorasi justice tadi," katanya.
"Kalau ada kepala desa taruhlah betul terbukti mengambil uang tapi nilainya tidak seberapa kalau diproses sampai pengadilan negeri biaya lebih gede, artinya apa? Nggak efektif nggak efisien. Negara lebih banyak keluar duitnya daripada apa yang kita peroleh," lanjutnya.
Karena itu, Mawarta lebih menyarankan untuk pengembalian kerugian yang ditimbulkan akibat penyelewengan dan penyimpangan dana desa. Bahkan, jika perlu kepala desa dicopot dari jabatannya sebagai efek jera.
"Ya sudah suruh kembalikan, kalau ada ketentuannya pecat kepala desanya selesai persoalan. Kalau harus melihat putusan hakim untuk memecatnya ya bagaimana, buat aturan apalah," ucapnya.
"Mungkin dengan musyawarah masyarakat desa kita sampaikan 'ini kepala desamu nyolong nih mau dipenjarakan atau diberhentikan', pasti selesai. Hal seperti itu membuat jera kepala desa yang lain," lanjutnya.
Mawarta mengungkapkan hal itu karena pemberantasan korupsi tidak semata-mata tentang berapa orang yang berhasil dipenjarakan. Namun bagaimana mengembalikan kerugian ke kas desa, kas daerah maupun kas pusat.
"Tidak semata-mata upaya pemberantasan korupsi berakhir di pengadilan negeri atau keberhasilan pemberantasan korupsi dengan ukuran berapa orang banyak kita penjarakan, tidak seperti itu," ujarnya.
"Kita sudah sepakat kalau menyangkut kerugian negara, daerah, kerugian desa bagaimana semaksimal mungkin uang itu bisa kembali baik ke kas desa, kas daerah atau kas negara. Itu saya kira itu lebih efektif, dibanding kita memenjarakan orang. Apalagi dia (tersangka) punya istri tidak kerja anaknya tiga kan bubar semua itu. Ya hal seperti itu bisa jadi perenungan kita, introspeksi kita bersama," imbuh Mawarta.
Terlepas dari hal tersebut, Mawarta mengaku tetap menyoroti kasus penyelewengan atau penyimpangan dana desa. Mawarta berharap dengan Kalurahan Panggungharjo sebagai pilot project Desa Antikorupsi di Indonesia bisa menular ke desa-desa lainnya.
"Pemberantasan korupsi tetap menjadi keprihatinan kita dan PR kita bersama dan desa anti korupsi tidak hanya menyangkut aparat desa tapi masyarakat. Karena percuma aparat bersih tapi masyarakat tidak mendukung pemberantasan korupsi seperti menyuap," ujarnya. (tum)