Wahanaadvokat.com | Kekacauan tata kelola industri crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah bikin seluruh pihak pusing, termasuk penguasa.
Hal itu dikatakan Eks Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang.
Baca Juga:
DJP Kalbar Fokus Maksimalkan Penerimaan Pajak Sektor Perkebunan untuk Meningkatkan Pendapatan Negara
Dia menuturkan masalah ini berdampak mulai dari ibu-ibu hingga pengusaha. Apalagi, kata Saut, industri minyak sawit dianggap bermasalah karena ada konflik kepentingan.
"Kita lihat bagaimana CPO Saga ini kemudian bermasalah, membuat banyak orang pusing dari masyarakat yang paling bawah sampai penguasanya pusing. Padahal karena memang kita tidak mengelolanya dengan baik, lalu ada conflict of interest," ungkap Saut dalam akun Youtube, Selasa (3/5).
Saut melihat konflik kepentingan ini tercermin dari cara pengambilan keputusan yang tidak direncanakan dengan baik oleh pemangku kepentingan.
Baca Juga:
Kemendag Rilis Harga Referensi CPO dan Biji Kakao Per November 2024
Lebih jauh, ia menjelaskan peranan penting minyak sawit dalam konsep ketahanan pangan karena seluruh bagiannya yang dapat digunakan. Bahkan, ia mengklaim kelapa sawit melampaui konsep ketahanan pangan.
"Sawit dia bisa lebih banyak turunan yang bisa digunakan. Jadi more than ketahanan pangan," ungkapnya.
Saut menerangkan CPO Saga merupakan sejumlah persoalan yang ada di industri sawit karena terkait sejumlah hal macam pemasukan pajak, masalah lingkungan, hingga kasus korupsi.
Pemerintah Main-main
Ia menilai karut marut tata kelola industri kelapa sawit disebabkan pemerintah hanya bermain-main. Permainan itu pun disebut dilakukan dalam bidang ekonomi hingga politik.
"(Industri ini) menunjukkan bahwa sebenarnya kita tidak menangani hal ini dengan baik atau memang kita bermain-main. Bermain-main di ekonomi, kemudian dia masuk ke hal-hal yang sedikit-sedikit ke politik gitu ya," ungkap Saut.
Padahal diketahui, sawit menjadi penyumbang devisa terbesar Indonesia. Pada tahun 2017, diketahui industri kelapa sawit menyumbang devisa sebesar Rp239 triliun.
Diketahui, Presiden Jokowi akhirnya memutuskan untuk melarang minyak sawit dan sejumlah turunannya terkait dengan upaya pengendalian minyak goreng dalam negeri akhir April lalu.
Sebelumnya, pemerintah sempat menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan maupun eceran namun berakibat pasokan menghilang di pasar. Akhirnya, kebijakan HET dicabut.
Kebijakan larangan ekspor Jokowi dimulai sejak 28 April itu diberlakukan sampai harga minyak goreng kembali normal di pasar. Namun, Serikat Petani Indonesia (SPI) mengkritik kebijakan tersebut karena membuat harga Tandan Buah Segar (TBS) di kalangan petani menjadi turun.
"Setelah pengumuman kemarin, otomatis langsung drop standar harga TBS. Umumnya jatuh antara 30 persen sampai 50 persen, bahkan ada yang 70 persen," ujar Ketua SPI Henry Saragih. [tum]