Advokat.WahanaNews.co | Dalam kasus yang menyeret Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengajukan diri sebagai Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan dengan mengajukan pendapat tertulis ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat.
Menurut LBH Jakarta, Roy Suryo telah menjadi korban kriminalisasi terhadap ekspresi pribadi yang disampaikan dengan damai di ranah digital.
Baca Juga:
Terkait Akun Fufufafa, Pasukan Bawah Tanah Jokowi Adukan Roy Suryo ke Polisi
Pengacara Publik LBH Jakarta Fadhil Alfathan mengatakan unggahan Roy Suryo bukanlah pendapat dan ekspresi yang dilarang di dalam diskursus hak asasi manusia (HAM).
Unggahan itu, kata Fadhil, justru dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum HAM nasional maupun internasional.
"Unggahan Roy Suryo bukanlah perbuatan ujaran kebencian karena tidak memenuhi unsur motif untuk membangkitkan rasa kebencian dan/atau permusuhan atas dasar SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan)," ujar Fadhil dalam keterangannya, dikutip Minggu (18/12).
Baca Juga:
Seruan Pemecatan untuk Budi Arie Menggema Imbas Kebocoran Pusat Data Nasional
"Motif ini wajib dibuktikan sesuai SKB Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang pedoman implementasi UU ITE. Namun di dalam unggahan Roy Suryo hanya menyuarakan isu publik mengenai ketidaksetujuannya terhadap komersialisasi wisata budaya Candi Borobudur," sambung Fadhil.
Fadhil menjelaskan pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pasal penodaan agama telah kehilangan relevansinya dalam tatanan masyarakat demokratis. Sehingga sudah seharusnya tidak digunakan dalam penegakan hukum pidana saat ini.
Lebih lanjut, ia menyebut mahkamah konstitusi (MK) bahkan telah menyatakan UU Penodaan Agama yang menjadi dasar Pasal 156a KUHP bermasalah dan perlu direvisi. Namun, DPR dan Pemerintah belum mentaati putusan MK tersebut hingga sekarang.
Karena itu, menurut Fadhil, penerapan ini menjadi tidak relevan lagi dan sudah seharusnya Majelis Hakim mengesampingkan dakwaan pasal ini.
Selain itu, Fadhil juga menilai unggahan Roy Suryo tidak memenuhi itikad buruk/evil mind/mens rea berupa "adanya maksud agar orang tidak menganut agama apapun yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa" yang disyaratkan harus dibuktikan dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 156a KUHP.
"Sedangkan di dalam unggahan Roy Suryo tidak terdapat ajakan atau seruan agar orang tidak menganut agama apapun, melainkan hanya membicarakan terkait kebijakan pemerintah tanpa menyinggung agama apapun. Maksud dari perbuatannya hanya untuk mengkritik kebijakan pemerintah tentang harga tiket masuk Candi Borobudur yang dirasa terlalu mahal," jelas dia.
Fadhil menjabarkan tiga rekomendasi dari pihaknya dalam perkara ini. Pertama, agar Majelis Hakim pada perkara ini menjunjung tinggi penegakan hukum dan HAM dalam memutus perkara a quo. Terutama, yang berkaitan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaimana dijamin di dalam konstitusi, yaitu pasal 27 ayat (1), pasal 28 E ayat (3), dan pasal 28 D UUD 1945.
Lalu, proses hukum terhadap Terdakwa Roy Suryo harus dijalankan dengan kepatuhan dan ketaatan terhadap posisi ultimum remedium hukum pidana dan batas-batas unsur pasal yang didakwakan. Tanpanya, proses hukum ini akan menjadi peradilan yang sesat atau miscarriage of justice.
Selain itu, agar Majelis Hakim menerapkan asas legalitas dalam wujud lex certa. Sehingga Pasal 28 ayat (2) UU ITE, Pasal 15 UU 1/1946, dan Pasal 156a KUHP yang dirumuskan dengan tidak cukup jelas dan dirumuskan secara luas tanpa ada penjelasan yang memadai itu dapat dihindari penggunaannya oleh hakim. Sebab, sangat berpotensi disalahgunakan dalam wujud kriminalisasi.
"Hal tersebut sebagaimana tergambar dalam kasus ini dan juga menurut berbagai kajian lembaga riset dan ilmuwan menjadi penyebab mundurnya demokrasi di Indonesia," imbuh dia.
Diberitakan, Roy dituntut terbukti menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA terkait unggahan stupa Candi Borobudur yang diedit mirip wajah Presiden Joko Widodo.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan tuntutan pidana penjara 1 tahun 6 bulan dan denda sebesar Rp300 juta. Apabila denda itu tidak dibayar, maka diganti dengan pidana penjara 6 bulan.
Atas tuntutan tersebut, Roy mengatakan bakal menyiapkan nota pembelaan atau pledoi secara pribadi. Persidangan selanjutnya dijadwalkan pada 22 Desember 2022 dengan agenda pembacaan nota pembelaan. [tum]