Wahanaadvokat.com I Judicial review yang diajukan sejumlah mahasiswa Universitas Tirtayasa yang meminta penarikan kendaraan oleh leasing semuanya harus melalui proses pengadilan, tidak diterima Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut MK, larangan penarikan paksa hanya berlaku bila debitur melawan atau tidak sukarela menyerahkan kendaraannya.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Putusan MK ini dibacakan pada Rabu (15/12/2021) kemarin, ketika permohonan itu pernah diputus dalam perkara Nomor 18/PUU-XVII/2019 tentang judicial review Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terhadap UUD 1945. Perkara pada 2019 itu diajukan oleh Aprillini Dewi dan Suri Agung Prabowo.
1. Menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia Sepanjang frasa 'kekuatan eksekutorial' dan frasa 'sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap' bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cedera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap'.
2. Menyatakan Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia sepanjang frasa 'cidera janji' bertentangan dengan UUD1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa 'adanya cedera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cedera janji'.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Dengan putusan itu, maka:
1. Bila debitur sukarela menyerahkan barangnya, maka leasing bisa langsung mengambilnya.
2. Bila debitur melawan/tidak sukarela menyerahkan barangnya, maka leasing tidak bisa langsung menyita paksa. Langkah yang diambil leasing harus menggugat ke Pengadilan Negeri.
Berikut ini pertimbangan MK:
Persoalannya adalah kapan 'cedera janji' itu dianggap telah terjadi dan siapa yang berhak menentukan? Inilah yang tidak terdapat kejelasannya dalam norma undang-undang a quo. Dengan kata lain, ketiadaan kejelasan tersebut membawa konsekuensi yuridis berupa adanya ketidakpastian hukum perihal kapan sesungguhnya pemberi fidusia (debitur) telah melakukan 'cedera janji' yang berakibat timbulnya kewenangan yang bersifat absolut pada pihak penerima fidusia (kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang berada dalam kekuasaan debitur.
Dengan demikian, telah ternyata bahwa dalam substansi norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999, juga terdapat permasalahan konstitusionalitas turunan yang tidak dapat dipisahkan dengan permasalahan yang sama dengan ketentuan yang substansinya diatur dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, yaitu ketidakpastian hukum yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi dan kepastian tentang waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan 'cedera janji' (wanprestasi), apakah sejak adanya tahapan angsuran yang terlambat atau tidak dipenuhi oleh debitur ataukah sejak jatuh tempo pinjaman debitur yang sudah harus dilunasinya. Ketidakpastian demikian juga berakibat pada timbulnya penafsiran bahwa hak untuk menentukan adanya 'cedera janji' dimaksud ada di tangan kreditur (penerima fidusia).
Adanya ketidakpastian hukum demikian dengan sendirinya berakibat hilangnya hak-hak debitur untuk melakukan pembelaan diri dan kesempatan untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar.
Tidak adanya kepastian hukum, baik berkenaan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi maupun berkenaan dengan waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan 'cedera janji' (wanprestasi), dan hilangnya kesempatan debitur untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar, di samping sering menimbulkan adanya perbuatan 'paksaan' dan 'kekerasan' dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pinjaman utang debitur, dapat bahkan telah melahirkan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penerima fidusia (kreditur) serta merendahkan harkat dan martabat debitur.
Hal demikian jelas merupakan bukti adanya persoalan inkonstitusionalitas dalam norma yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999.
Sebab, kalaupun sertifikat fidusia mempunyai titel eksekutorial yang memberikan arti dapat dilaksanakan sebagaimana sebuah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, prosedur atau tata-cara eksekusi terhadap sertifikat fidusia dimaksud harus mengikuti tata-cara pelaksanaan eksekusi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg. Dengan kata lain, eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri.
Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg selengkapnya adalah:
Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.
Tanpa bermaksud mengabaikan karakteristik fidusia yang memberikan hak secara kebendaan kepada pemegang atau penerima fidusia (kreditur), sehingga pemegang atau penerima fidusia (kreditur) dapat melakukan eksekusi sendiri terhadap barang yang secara formal adalah miliknya sendiri, demi kepastian hukum dan rasa keadilan yaitu adanya keseimbangan posisi hukum antara pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima fidusia (kreditur) serta untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi, Mahkamah berpendapat kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh penerima hak fidusia (kreditur) tetap dapat melekat sepanjang tidak terdapat permasalahan dengan kepastian waktu perihal kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah 'cidera janji' (wanprestasi) dan debitur secara suka rela menyerahkan benda yang menjadi objek dari perjanjian fidusia kepada kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri.
Dengan kata lain, dalam hal ini, pemberi fidusia (debitur) mengakui bahwa dia telah 'cedera janji' sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan benda yang menjadi objek perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (kreditur) guna dilakukan penjualan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur).
Sepanjang pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya 'cedera janji' (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi).
Namun, apabila yang terjadi sebaliknya, yakni pemberi hak fidusia (debitur) tidak mengakui adanya 'cedera janji' (wanprestasi) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri.
Dengan demikian, hak konstitusionalitas pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) terlindungi secara seimbang.
Putusan ini tidaklah serta-merta menghilangkan keberlakuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang bertujuan memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia, sepanjang sejalan dengan pertimbangan dan pendirian Mahkamah a quo.
Dengan demikian, baik eksekusi yang dilaksanakan oleh kreditur sendiri karena telah ada kesepakatan dengan pihak debitur maupun eksekusi yang diajukan melalui pengadilan negeri, tetap dimungkinkan bantuan dari kepolisian dengan alasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam proses pelaksanaan eksekusi. Bantuan demikian sudah merupakan kelaziman dalam setiap pengadilan negeri menjalankan fungsi dalam pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata pada umumnya. (tum)