Wahanaadvokat.com I Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian dari permohonan uji formil atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada Kamis (25/11/2021).
Hal itu memunculkan ragam reaksi dari masyarakat, seperti Konfederasi Serikat Pekerja, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), hingga tokoh-tokoh publik.
Baca Juga:
Proyek Siluman Pembangunan Gudang PT Wings Group Diduga Langgar UU Cipta Kerja
Dilansir dari Hukumonline.com Sabtu, (27/11/2021) meski terdapat dissenting opinion dari empat hakim konstitusi, dalam amar Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat.
Dengan alasan penyusunan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan untuk pembentukan suatu Undang-Undang yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus mantan Ketua MK (periode 2003-2006 & 2006-2008), Jimly Asshiddiqie, melalui akun twitternya @JimlyAs ikut angkat bicara. “Ini putusan penting dan bersejarah (landmark decision). Selanjutnya, uji formil akan makin berpengaruh dalam praktik pembentukan hukum dan MK makin tegaskan fungsi yang bukan saja kawal konstitusi tapi juga kawal demokrasi,” kata Jimly.
Baca Juga:
Ahli Sebut UU Cipta Kerja Buat Kaum Kelas Pekerja Makin Rentan
Ada beberapa alasan yang membuat Jimly menyatakan demikian. Pertama, objek permohonan yakni UU Cipta Kerja merupakan UU yang menerapkan omnibus technic yang merupakan tradisi baru dalam hukum Indonesia. Terlebih, dengan ketebalan melampaui kelaziman mencakup lebih dari 84 UU.
Kedua, perkaranya diuji secara formil dan dikabulkan. Hal tersebut merupakan pertama kali uji formil dan dikabulkan dalam sejarah peradilan Indonesia. Karena baik di MK maupun Mahkamah Agung (MA) belum pernah terdapat putusan uji formil yang dikabulkan. (Baca: MK Minta UU Cipta Kerja Diperbaiki, Bukti Partisipasi Publik Perlu Dibuka Seluas-luasnya)
“Saya mengajak semua pihak untuk menerima putusan final dan mengikat MK itu dengan apa adanya. Jadi kita hormati dan kita laksanakan sebagaimana bunyi amarnya. Kita harus membangun tradisi menghormati putusan pengadilan. Karena putusan pengadilan itu sudah didasarkan atas asas ius curia novit, hakim itu tau hukumnya,” kata Jimly ketika dikonfirmasi Hukumonline.
Jimly juga menjelaskan bahwa dengan lahirnya putusan landmark yang mengabulkan permohonan uji formil menunjukan bahwa demokrasi yang dilakukan di parlemen dikawal langsung oleh MK. Melalui putusan ini MK semakin menegaskan eksistensinya bukan semata menjadi pengawal konstitusi, namun juga menjadi pengawal bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
“Putusan ini harus disyukuri. Ini penting sekali untuk masa depan kualitas dan integritas demokrasi hukum di Indonesia berdasarkan Pancasila. Tapi apakah putusan ini memuaskan semua pihak? Tentu tidak, ada pro dan kontra. Dari pihak pemerintah maupun pemohon. Jadi jangan dikira semua puas. Karena memang putusan pengadilan itu bukan untuk memuaskan siapa-siapa. Tapi, memutus menjadi solusi keadilan dan kebenaran konstitusional,” tambahnya.
Dia kemudian menjelaskan bahwa reaksi pro dan kontra di masyarakat merupakan sesuatu hal yang lazim. “Maka kita ndak usah terlalu baper. Saya sarankan para hakim nggak usah terlalu dibaca berita reaktif. Supaya tidak terganggu. Baca saja perkara-perkara yang belum diputus supaya putusan ke depan lebih baik,” ujarnya.
Di samping itu, Jimly melalui cuitan terbarunya juga mengingatkan bagi para menteri dan pejabat pemerintah terkait untuk tidak panik dengan hadirnya putusan tersebut. Karena dalam suatu uji formil, yang dinilai oleh majelis hakim konstitusi adalah proses pembentukan UU.
Sehingga, yang patut diperbaiki pemerintah adalah proses pembentukan UU Cipta Kerja dalam kurun waktu dua tahun ke depan sebagaimana mandat putusan MK. Menurutnya, pembentukan hukum ke depan akan terpengaruh oleh lahirnya putusan itu.
Sama halnya dengan Jimly, matan Ketua MK yang keempat (periode 2013-2015), Hamdan Zoelva, melalui cuitannya di laman twitter @hamdanzoelva juga menyampaikan respons positif terhadap putusan MK yang membatalkan UU Cipta Kerja secara bersyarat.
“Putusan tersebut bermakna sangat strategis bagi proses pembentukan UU. Ke depan, Pemerintah dan DPR tidak boleh lagi membahas suatu RUU yang menyangkut kepentingan strategis bangsa tanpa melibatkan masyarakat secara luas dan serius,” ungkapnya.
Selepas itu, dia menyampaikan pendapat bahwa baik Pemerintah dan DPR tidak diperbolehkan lagi melakukan pembentukan UU melalui metode Omnibus Law seperti UU Cipta Kerja. Hal itu disebabkan oleh metode campur sari yang dilakukan, yang menurutnya hanya akan melahirkan produk perundang-undangan yang tidak fokus.
“Dengan demikian, ini akan merugikan dan berimbas secara negatif bagi produk legislasi dengan timbulnya ketidakpastian hukum karena tujuan dan filosofisnya menjadi buram (tidak jelas),” kata Hamdan.
Dia menjelaskan Pemerintah juga tidak boleh membuat peraturan implementasi UU Cipta Kerja yang baru dan tidak boleh mengambil kebijakan yang strategis dalam melaksanakan peraturan yang ada karena UU Cipta Kerja pada dasarnya sudah batal.
Hamdan mengatakan diputusnya UU Cipta Kerja secara bersyarat memiliki alasan yang mendasar, di mana UU tersebut masih dianggap berlaku sementara bertujuan untuk tetap terjaganya kepastian hukum. “Karena bila MK memutus UU Cipta Kerja tidak berlaku secara langsung, ketidakpastian hukum yang baru akan tercipta pula,” tandasnya. (tum)