Wahanaadvokat.com | Terdakwa kasus terorisme sekaligus mantan Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI), Munarman mengatakan seharusnya penyidik dan jaksa penuntut umum (JPU) yang duduk di kursi terdakwa, bukan dirinya. Ia menilai penyidik dan JPU memiliki pemahaman sesat dalam kasus yang menjeratnya tersebut.
Hal ini ia lontarkan lantaran tidak adanya bukti mengenai argumentasi yang menyebut dirinya menggerakkan orang melakukan perbuatan terorisme.
Baca Juga:
Saat Kampaye Paslon Pilkada Talaud Libatkan Perangkat Desa Kini Jadi Tersangka
"Tidak ada satupun kata atau kalimat saya yang mengandung tujuan untuk menggerakkan orang melakukan perbuatan terorisme, tidak ada kata atau kalimat saya yang mengarah ke bai'at, hijrah, menyuruh melakukan kekerasan dalam bentuk apapun, menyuruh membunuh, menculik, menghancurkan benda-benda objek vital, atau menyuruh i'dad dalam segala bentuk," kata Munarman saat bacakan Pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (21/3).
Munarman menyebutkan karena tidak ada bukti terkait fitnah tersebut, penyidik dan jaksa kemudian menganalogikan kalimatnya seolah-olah menjadi faktor penggerak orang lain dan pemufakatan jahat untuk melakukan perbuatan terorisme. Dengan modus sengaja menyesatkan makna dari kalimat yang ia ucapkan.
"Padahal kata atau diksi qisash, hudud, ta'zir, Khilafah dan Daulah adalah kosa kata yang bersifat denotatif, namun oleh pihak Penyidik dan Penuntut Umum diartikan sebagai makna konotatif," ujarnya.
Baca Juga:
Beberapa Aset Milik Hendry Lie Tersangka Kasus PT Timah Sudah Disita Kejagung
Sehingga Munarman menilai pihak penyidik dan JPU lah yang seharusnya duduk sebagai terdakwa pada perkara ini karena telah menyesatkan makna kalimat yang dirinya ucapkan.
"Maka seharusnya yang duduk di kursi terdakwa ini adalah penyidik dan penuntut umum yang memiliki pemahaman sesat terhadap, kisas, ta'zir, dan daulah ini," kata Munarman
"Karena pemahaman penyidik dan penuntut umum sama persis sesaatnya dengan pemahaman para teroris yang dihadirkan dalam saksi aquo (perkara tersebut). Dan perlu saya ingatkan bahwa dalam hukum pidana dilarang keras melakukan analogi terhadap sebuah fakta atau norma," ujarnya menambahkan.