Wahanaadvokat.com I Desakan kepada aparat kejaksaan untuk menuntut maksimal dan hakim di pengadilan memutuskan vonis setinggi-tingginya kepada tersangka kasus kekerasan seksual oleh guru pesantren di Bandung, Jawa Barat, disampaikan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G).
P2G tidak ingin ke depan hal ini terulang, bahkan ada yang meniru perbuatan tersebut.
Baca Juga:
Guru Agama Diduga Cabuli Delapan Siswi SD di Gunungsitoli Terancam 20 Tahun Penjara
"Hukuman maksimal penjara seumur hidup dan kebiri kimia bagi oknum guru, agar menjadi pembelajaran bagi masyarakat, jangan sekali-sekali meniru perbuatan hina itu," ujar Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, dilansir dari Beritasatu.com, Sabtu (11/12/2021).
Seperti diberitakan, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat mengungkapkan guru sekaligus pemilik pondok pesantren berinisial HW atau Herry Wirawan (36) terancam hukuman 20 tahun penjara akibat perbuatannya memerkosa 12 santriwati hingga hamil dan melahirkan.
Perkaranya kini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Bandung. Menurut Plt Asisten Pidana Umum Kejati Jawa Barat Riyono, terdakwa dijerat Pasal 81 UU Perlindungan Anak dengan ancaman 15 tahun penjara.
Baca Juga:
FSGI Soroti Mutasi Bukan Hukuman Tepat untuk Pelaku Kekerasan Seksual di Lingkungan Sekolah
Menurutnya, sebagai seorang guru semestinya menjadi teladan dan ditiru, serta membangun karakter bagi muridnya. Pesantren atau lembaga pendidikan, kata dia, seharusnya menjadi ruang yang aman, nyaman, dan sehat untuk proses mendukung tumbuh kembang anak secara individual, intelektual, spiritual, dan sosial, bukan sebaliknya.
"Faktor inilah yang dapat menjadi pemberatan hukuman kepada oknum guru tersebut," tegas Iman mewakili akademisi.
Dia menyatakan, P2G mengapresiasi langkah sigap Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang memberikan konseling dan pendampingan trauma healing bagi korban. P2G berharap masyarakat tidak menyalahkan korban dan keluarganya. Masyarakat, kata dia, harus dididik untuk empati kepada keluarga korban kekerasan seksual, terlebih melihat mayoritas dari mereka merupakan anak dengan usia di bawah 18 tahun.
Iman mengungkapkan, tindak kekerasan seksual seperti pencabulan, pemerkosaan, dan tindakan asusila lainnya di satuan pendidikan berbasis agama bukan pertama kali terjadi. Dalam catatan P2G, kasus kekerasan seksual yang mencuat menjadi perbincangan publik di media pada 2021 terjadi di satuan pendidikan agama, baik status formal maupun nonformal.
"Data 27 kabupaten/kota belum termasuk kekerasan seksual yang terjadi di luar satuan pendidikan agama formal, seperti kasus pencabulan terhadap belasan anak laki-laki oleh guru mengaji di Padang dan Ternate," jelas dia.
Iman menambahkan, rata-rata korban kekerasan seksual di satuan pendidikan agama adalah anak di bawah umur dengan usia di bawah 18 tahun, bahkan ada yang usia tujuh tahun seperti kasus di Pondok Pesantren Jembrana, Bali. Umumnya, kata dia, kekerasan seksual dilakukan berkali-kali dalam kurun waktu lebih dari satu tahun.
"Korban kekerasan seksual tidak selalu santri perempuan, juga santri laki-laki seperti kasus Bantul, Sidoarjo, Jembrana, Solok, dan korban pedofilia terbesar hampir 30 santri di pesantren Ogan Komering Ilir," pungkas dia.
Aksi tak terpuji HW dilakukan sejak tahun 2016. Dalam aksinya tersebut, ada sebanyak 12 orang santriwati yang menjadi korban yang pada saat itu masih di bawah umur. Belakangan korban menjadi 21 santriwati. (tum)