Advokat.WahanaNews.co | Dugaan pelecehan terhadap istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi tak akan mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan vonis kepada Sambo terkait kasus pembunuhan Brigadir J.
Hal itu dikatakan Pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda.
Baca Juga:
Perjalanan Vonis Ferdy Sambo dari Hukuman Mati Jadi Penjara Seumur Hidup
Menurutnya, pernyataan Sambo yang menyebut Brigadir J telah melecehkan Putri di Magelang, Jawa Tengah merupakan hak dia sebagai seorang tersangka. Namun, pembuktian akan peristiwa tersebut nanti tak berdasarkan apa yang Sambo utarakan.
"Tidak ada pengaruhnya. Tidak ada hubungannya, ini dua perkara yang berbeda. Dugaan pelecehan itu kan katanya Sambo, namanya tersangka boleh bohong boleh ngarang, suka-suka dia. Tapi pembuktian tidak berdasarkan pada keterangan dia," kata Chairul saat dihubungi Selasa (13/9) malam.
Ia menilai, dugaan pelecehan seksual terhadap Putri sudah tidak perlu lagi diungkap ke publik. Selain karena orang yang diduga melakukan pelecehan sudah meninggal, hal itu menurutnya justru akan membuat kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J semakin lambat untuk dibawa ke pengadilan.
Baca Juga:
Seluruh Tergugat Tak Hadir, Sidang Gugatan Rp 7,5 M Keluarga Brigadir J Ditunda
"Apa ada gunanya? tidak ada gunanya. Ini cuma akan mengikuti keinginan konstruksi dari pihak Sambo supaya dia terhindar dari pidana mati," ujarnya.
Chairul mengatakan bahwa dengan ditindaklanjutinya dugaan pelecehan itu merupakan upaya untuk memperlambat proses penyidikan kasus pembunuhan Brigadir J agar kasus dugaan obstruction of justice atau melakukan perintangan selama proses penyidikan kasus Brigadir J masuk ke pengadilan lebih dulu.
Dengan masuknya kasus dugaan obstruction of justice terlebih dahulu sebelum perkara pembunuhan itu, maka tertutuplah kemungkinan Sambo akan dijatuhi hukuman mati sesuai pasal yang disangkakan yakni Pasal 340 Sub 338 Jo Pasal 55 dan 56 KUHP.
Pasalnya, di dalam hukum pidana termaktub aturan apabila seseorang telah dijatuhi pidana penjara, maka orang tersebut tidak boleh dijatuhi pidana lain.
"Kalau Sambo sudah dihukum kerena obstruction of justice misalnya satu tahun penjara, maka dia akan dijatuhi pidana penjara selama waktu tertentu yang paling lama 20 tahun dengan total tambah satu tahun penjara itu. Maka tertutup kemungkinan Sambo bisa dijatuhi pidana mati," jelasnya.
Lebih lanjut, Chairul menyebut tanpa sadar lembaga negara seperti Bareskrim, Kejaksaan dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terjebak pada konstruksi yang dibangun Sambo.
Hal itu secara gamblang dapat dilihat dari jumlah jaksa yang sudah dipersiapkan untuk mengadili kedua kasus itu. Diketahui, jaksa yang akan menangani kasus dugaan obstruction of justice terdiri dari 43 orang. Sementara jaksa yang menangani kasus pembunuhan Brigadir J hanya terdiri dari 30 orang.
Menurut Chairul, kasus dugaan obstruction of justice sangat mudah dibuktikan karena berfokus pada perusakan CCTV.
"Bisa secara teoritik bisa duluan diadili obstruction of justice. Dengan itu Sambo dijatuhi pidana selama waktu tertentu. Oleh karena itu tertutup kemungkinan buat dia dijatuhi pidana mati karena dalam KUHP orang yang dijatuhi pidana mati tidak boleh dijatuhi pidana lain," ucapnya.
Ia menyatakan bahwa mengejar motif dugaan pelecehan seksual terhadap Putri seperti mengejar hantu karena mencari-cari sesuatu yang tidak pernah ada.
"Supaya apa? supaya lama. supaya dikondisikan jaksanya dikondisikan pengadilannya," ungkapnya.
Senada dengan Chairul, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga mengatakan bahwa dugaan pelecehan seksual terhadap Putri apabila nantinya diungkapkan di persidangan, tidak akan berpengaruh terhadap hukuman Sambo.
"Tidak bisa karena perkaranya berlainan dan berdiri sendiri-sendiri," katanya.
Ia menuturkan pernyataan Sambo mengenai dugaan pelecehan seksual yang misalnya kemudian tertuang di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) akan ditelaah terlebih dahulu terkait dengan bukti-bukti yang mendukung.
"Bisa juga dari BAP dapat disimpulkan bahwa perkaranya bukan pidana atau alat buktinya kurang untuk diteruskan menjadi dakwaan di persidangan. Maka perkaranya dihentikan dan dikeluarkanlah SP2P surat perintah penghentian penuntutan," ujarnya.
"Kalau yang disangka atau tersangkanya meninggal dunia, maka kasus tersebut tidak akan pernah naik ke pengadilan," sambungnya.
Sebelumnya, Komnas HAM menemukan dugaan kekerasan seksual yang dilakukan Brigadir J kepada Putri Candrawathi. Dari laporan hasil pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM, dugaan kekerasan seksual itu terjadi di Magelang pada Kamis, 7 Juli 2022
Selain itu, Komnas Perempuan juga menyebut ada dugaan pelecehan seksual yang dialami oleh Putri Candrawathi. Bahkan, kata mereka, Putri ingin mengakhiri hidup karena pelecehan yang dialaminya.
Sementara itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) justru mempertanyakan keaslian peristiwa Magelang itu.
Bahkan, lembaga itu sempat memutuskan untuk menolak permohonan perlindungan dari Putri sebagai terduga korban pada dugaan pelecehan yang semula disebut terjadi di rumah dinas Sambo di Duren Tiga pada 8 Juli 2022 namun, belakangan dugaan pelecehan itu berubah bukan lagi di Duren Tiga, melainkan di kediaman pribadi Sambo di Magelang satu hari sebelumnya.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu membeberkan sejumlah kejanggalan soal dugaan pelecehan yang didapat Putri. Pertama, terkait relasi kuasa dimana Brigadir J merupakan ajudan dari Sambo, yang notabenenya juga bawahan Putri.
Kedua, terkait lokasi yang diduga terjadinya pelecehan seksual. Edwin mengatakan pada umumnya, pelaku pelecehan seksual akan mencari tempat yang kemungkinan besar tak ada yang menyaksikan.
Namun, dalam kasus tersebut, Brigadir J diduga melecehkan Putri di rumahnya di Magelang pada 7 Juli. Pada hari itu, KM dan S selaku asisten rumah tangga Putri berada di rumah. Menurut Edwin itu hal janggal.
Ketiga, PC disebut masih menanyakan kondisi Brigadir J kepada ajudannya yang lain, yakni RR. Edwin menilai hal itu janggalan lantaran pernyataan itu dilontarkan pascakejadian. [tum]