Wahanaadvokat.com | Perihal payung hukum ratifikasi perjanjian ruang udara antara Indonesia dan Singapura tak ada habisnya. Kini menuai pro kontra.
Menyadur dari detikcom, Minggu (20/2/2022), Menko Polhukam Mahfud Md telah menyampaikan pemerintah segera mengirim surat permohonan ratifikasi perjanjian antara Indonesia dengan Singapura ke DPR. Pemerintah akan meminta ratifikasi dalam bentuk UU.
Baca Juga:
Pertemuan Bilateral Vietnam, Prabowo Komitmen Ratifikasi ZEE
Perjanjian yang akan dimintakan ratifikasi yakni tentang Defense Cooperation Agreement atau DCA dan perjanjian ekstradisi antara kedua negara tersebut.
"Yang diminta ratifikasi dalam bentuk UU ke DPR hanya dua yakni Perjanjian Ekstradisi dan Perjanjian DCA. Sedangkan yang Perjanjian FIR cukup diratifikasi dengan Peraturan Presiden (Perpres)," kata Mahfud.
Pernyataan Mahfud ini menuai pro kontra. Suara datang dari profesor di Universitas Indonesia yang bertentangan dengan pendapat Mahfud.
Baca Juga:
Sebutan 'Yang Mulia' bagi Hakim, Mahfud MD: Sangat Berlebihan
Guru Besar Hukum Internasional UI Prof Hikmahanto Juwana menyatakan pengesahan perjanjian ruang udara (FIR) Indonesia-Singapura harus disahkan lewat UU. Selain itu, hal itu juga harus disinkronkan dengan UU terkait yaitu UU Penerbangan.
"Pengesahan Perjanjian Penyesuaian FIR harus dengan UU, tidak dengan Perpres," kata Hikmahanto Juwana.
Hikmahanto Juwana menyebut FIR berkaitan dengan pengelolaan wilayah udara yang berada pada kedaulatan di mana keinginan presiden dan rakyat adalah pengelolaan FIR yang selama ini didelegasikan ke Singapura diambil alih ke Indonesia.
"Dua, pemerintah wajib transparan di mata rakyat mengingat bila disahkan memiliki potensi berbenturan dengan Pasal 458 UU Penerbangan," katanya.
Ketiga, saat FIR 1995 memang disahkan dengan Keppres. Namun hal ini karena pada masa itu belum ada UU Perjanjian Internasional yang baru mulai berlaku tahun 2000 sehingga saat itu pemerintah bebas menentukan apakah dengan Keppres atau UU.
"Keempat Perjanjian FIR perlu mendapat pembahasan oleh DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU Perjanjian Internasional di mana DPR tidak sekedar mengevaluasi sebagaimanan diatur dalam Pasal 11 ayat 2 UU Perjanjian Internasional," cetus Hikmahanto Juwana yang juga Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani, Bandung, itu.
Legislator Golkar, Christina Aryani berpendapat sama dengan Hikmahanto. Perihal FIR, katanya, harus diratifikasi dengan UU.
Dia menegaskan meskipun FIR mengatur hal teknis tapi tetap perlu persetujuan DPR karena terkait kedaulatan.
Christina menjelaskan Pasal 10 UU No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengatur jenis-jenis perjanjian internasional yang harus disahkan dengan undang-undang dan membutuhkan persetujuan DPR. Dia mengatakan perjanjian-perjanjian tersebut ditentukan berdasarkan materi yang diatur dan bukan nama atau nomenklaturnya.
"Kami berpendapat FIR walaupun mengatur hal teknis, juga terkait erat dengan kedaulatan dan karenanya membutuhkan persetujuan DPR dalam pengesahannya. Tidak tepat ratifikasi melalui Perpres," kata Christina
Christina lantas menjelaskan perihal keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13 Tahun 2018 yang memutuskan pasal 10 inkonstitusional bersyarat, sepanjang ditafsirkan hanya jenis-jenis perjanjian dalam Pasal 10 itu saja yang membutuhkan persetujuan DPR.
"Apalagi sampai saat ini Pemerintah belum pernah menjelaskan secara transparan dan komprehensif kepada DPR apa yang menjadi alasan pendelegasian kembali pengelolaan FIR pada Singapura untuk ketinggian 0-37.000 kaki pasca-penandatanganan perjanjian. Ini kami di DPR perlu kejelasan," sambung Christina. [tum]