Wahanaadvokat.com | Wakil Ketua I Komite I DPD RI Dr Filep Wamafma menyoroti sejumlah perusahaan di Tanah Air yang secara jelas tidak memiliki izin, namun tetap dan telah lama beroperasi.
"Keberadaan sejumlah perusahaan ini seolah mendapat pengampunan dalam pelanggaran yang telah lama dilakukan melalui undang-undang yang ada," kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (11/2/2022).
Baca Juga:
ReJO Pro Gibran Ucapkan Selamat atas Terpilihnya Sultan Nadjamuddin jadi Ketua DPD RI
Filep Wamafma mengungkapkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menerbitkan empat Surat Keputusan (SK) tentang data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan.
Keempat SK itu yakni SK.359/MenLHK/Setjen/KUM.1/6/2021 terbit pada 29 Juni 2021 (tahap I), SK.531/MenLHK/Setjen/KUM.1/8/2021 terbit 30 Agustus 2021 (tahap II), SK.1217/MenLHK/Setjen/KUM.1/12/2021 terbit 10 Desember 2021 (tahap III), dan SK.64/ MenLHK/Setjen/KUM.1/1/2022 terbit 21 Januari 2021 (tahap IV).
Dalam lampiran SK tersebut, kata dia, terdapat tiga perusahaan memiliki kegiatan usaha dalam kawasan hutan, namun tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan yaitu PT Sumber Indah Perkasa, PT Pro Intertech Indonesia, dan PT Inti Kebun Sejahtera.
Baca Juga:
Waketum SAPMA Pemuda Pancasila Terpilih Jadi Pimpinan MPR RI Mewakili DPD, Ini Harapannya
Berdasarkan catatan KLHK, ujar dia, merujuk SK tersebut, PT Sumber Indah Perkasa memiliki kegiatan usaha kelapa sawit yang beroperasi di kawasan hutan produksi, dengan indikatif areal terbuka seluas 6.510 hektare (Ha).
Kemudian, PT Pro Intertech Indonesia di Sorong, Papua Barat memiliki kegiatan usaha OP Andesit dengan indikasi bukan berdasarkan citra satelit, dan PT Inti Kebun Sejahtera di Sorong, Papua Barat memiliki kegiatan usaha kelapa sawit dengan areal seluas 313,78 Ha.
"Fakta di atas sangat menyedihkan karena perusahaan-perusahaan ini sudah cukup lama beroperasi di Papua," ucap dia.
Ia juga mempertanyakan bagaimana izin perusahaan tersebut tidak ada, namun sudah memiliki kegiatan usaha dalam kawasan hutan.
Tidak hanya itu, ia menjelaskan berkat Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, dua perusahaan yang beroperasi di Papua yaitu PT Pro Intertech Indonesia dan PT Inti Kebun Sejahtera, seolah-olah mendapat pengampunan dalam penyelesaian pelanggaran yang telah mereka lakukan.
Untuk PT Inti Kebun Sejahtera, skema penyelesaian yang disampaikan oleh KLHK ialah menggunakan Pasal 110A UU Cipta Kerja.
Pasal ini menegaskan setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun, dan memiliki perizinan berusaha di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja, yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tiga tahun sejak UU Cipta Kerja berlaku.
Apabila lewat tiga tahun sejak berlakunya UU Cipta Kerja, perusahaan tersebut tidak menyelesaikan persyaratan-persyaratan, maka akan dikenai sanksi administratif, berupa pembayaran denda administratif atau pencabutan perizinan berusaha.
Sementara, untuk PT Pro Intertech Indonesia, dikenakan Pasal 110B yakni dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administratif atau paksaan pemerintah.
"Jadi, sanksinya hanya administratif. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Pasal 110A berlaku bagi kegiatan yang memiliki izin usaha tetapi tidak memiliki izin di bidang kehutanan," ujarnya.
Sedangkan Pasal 110B berlaku bagi kegiatan yang tidak memiliki izin usaha dan tidak memiliki izin bidang kehutanan.
Menurut dia, kedua pasal tersebut merupakan bagian dari pengampunan pelanggaran di bidang kehutanan yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian, mengembangkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan serta kewajiban lainnya termasuk rehabilitasi hutan. [tum]