Advokat.WahanaNews.co | Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Ahmad Ramadhan menyebutkan bahwa salah satu program kemanusiaan yang dananya diselewengkan Aksi Cepat Tanggap (ACT) ialah dana kompensasi bagi ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 pada 2018 lalu.
Polisi mengendus dugaan tindak pidana penggelapan hingga pencucian uang terkait pengelolaan dana lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT). Dana yang dihimpun diduga digunakan untuk kepentingan pribadi petinggi lembaga itu.
Baca Juga:
Eks Presiden ACT Mohon Dibebaskan dari Segala Tuntutan, Ini Alasannya
Dalam hal ini, ACT mendapat mandat dari perusahaan Boeing untuk mengelola dana sebesar Rp 138 miliar sebagai bentuk kompensasi kecelakaan. Namun, uang tersebut dikelola secara tidak transparan dan bermasalah.
"Bahwa pengurus yayasan ACT dalam hal ini sdr Ahyudin selaku pendiri merangkap ketua, pengurus dan pembina serta saudara Ibnu Khajar selaku ketua pengurus melakukan dugaan penyimpangan sebagian dana sosial atau CSR dari pihak Boeing untuk kepentingan pribadi masing-masing berupa pembayaran gaji dan fasilitas pribadi," kata Ramadhan kepada wartawan, Sabtu (9/7).
Menurut Ramadhan, ACT tak pernah mengikutsertakan para ahli waris dalam penyusunan rencana ataupun penggunaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang diterima dari Boeing.
Baca Juga:
Ini Tujuan ACT Alirkan Dana Rp 10 Miliar ke Koperasi Syariah 212
Selain itu, kata dia, para ahli waris juga tak pernah mendapat informasi mengenai besaran dana sosial yang mereka dapatkan dari Boeing.
Terkait masalah ini, Ramadhan menyebutkan bahwa ACT semula menghubungi para ahli waris korban untuk memberikan rekomendasi kepada Boeing agar pengelolaan dana CSR diberikan kepada lembaga tersebut.
Hal itu, kata Ramadhan, perlu dilakukan sebagai syarat dari Boeing agar pengelolaan dana yang diberikan lewat lembaga atau yayasan yang bertaraf internasional. Singkat cerita, Boeing mempercayakan pengelolaan dana itu kepada ACT.
Total ada dua kompensasi yang diprogramkan bagi para ahli waris. Pertama ialah santunan tunai masing-masing sebesar US$144.500 atau setara Rp2,06 miliar. Selain itu, terdapat bantuan non tunai berupa dana sosial.
"Dana tersebut tidak dapat dikelola langsung oleh para ahli waris korban melainkan harus menggunakan lembaga atau yayasan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan Boeing," ucapnya.
Dana sosial yang disepakati semula akan diperuntukkan bagi fasilitas pendidikan sesuai rekomendasi dari para ahli waris.
Namun selama prosesnya ACT jauh dari kata transparan. Mereka tak pernah memberitahukan realisasi jumlah dana sosial yang diterima kepada ahli waris. Termasuk proses pekerjaan fasilitas pendidikan itu.
Polisi menduga ACT tak merealisasikan seluruh dana sosial yang diperoleh. Beberapa di antaranya dimanfaatkan untuk pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina serta staf di ACT.
"Dan juga digunakan untuk mendukung fasilitas serta kepentingan pribadi Presiden dan Wakil Presiden ACT," jelas dia.
Sejauh ini polisi masih melakukan pemeriksaan dan pendalaman terhadap perkara ini. Kasus masih dalam tahap penyelidikan dan belum ada tersangka yang dijerat.
Namun, Bareskrim telah memeriksa dua petinggi ACT Ahyudin dan Ibnu Khajar pada Jumat (8/7). Pemeriksaan berlangsung panjang hingga hampir tengah malam.
Dalam mengusut kasus ini, polisi mendalami Pasal 372 jo 372 KUHP dan/atau Pasal 45A ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 5 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan/atau Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. [tum]